Mohon tunggu...
Oscarnoise
Oscarnoise Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Future is on your hand

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Melawan Mafia Sepak Bola

9 April 2019   20:13 Diperbarui: 9 April 2019   20:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.sumber.com

Teriakan kawula muda hingga tua tak hanya pria tapi juga wanita hingga yang setengah paruh baya masih memiliki jiwa fanatisme dalam menggelorakan semangat mendukung tim kesayangan di berbagai daerah bahkan tim nasional Indonesia di berbagai ajang dan kompetisi yang diselenggarakan. 

Apresiasi besar terhadap cabang olahraga sepak bola yang mampu mempersatukan perbedaan dalam masyarakat pada satu suasana mencengangkan menanti ujung tatapan mata berbinar karena menyaksikan si kulit bundar mampu menjebol jala lawan. Goolll!! Sorak sorai pecinta sepak bola pecah dalam keriuhan berbalut kegundahan (begitu kira - kira penonton yang cerdas berpikir). "Bingung" (Siapa) ? 

Sebenarnya bukan hanya penikmat sepak bola, tetapi apa yang bisa diperbuat manajer atau pelatih saat itu untuk bisa mengembalikan keadaan bahkan memenangkan pertandingan yang dihempas oleh waktu yang bisa saja dibuat keliru. Sebuah permainan politis yang etis mendesis dibalik permainan sepak bola yang atraktif.

Medan tempat berlaga menjadi ambisi pemain dalam menyuguhkan kelihaian olah kaki untuk memperdaya lawan. Euforia sepak bola di Indonesia kian menjadi ketika ajang besar ditambah kefanatikan suporter muncul. Stigma untuk berlaga oleh sebelas pemain telah berubah. Kini, sepak bola tidak hanya dimainkan oleh 11 pemain saja, karena stigma pemain ke 12 itu nyata adanya yaitu penonton sebagai saksi. 

Namun, citra pemain ke 12 sedikit ternodai karena ulah mereka sendiri. Iyaa.. Haringga Sirila - korban bringasnya pemain ke dua belas yang melakukan pengeroyokan hingga kata selamat tinggal dunia pun terucap tanpa salah kata. Sungguh brutal apa yang mereka lakukan. Itulah salah satu konflik yang pelik untuk diselesaikan, karena mereka berkata "Fanatisme tak selalu berjalan lurus seperti penggaris, karena terkadang euforia tersampaikan lebih dari kata manis." Pernyataan yang sungguh anarkis dan perlu dianalisis - SALAH.

Yang mengejutkan bahwa bagaimana pengadil lapangan dengan satu komando utama, dua klebet (hakim garis), dan wasit cadangan dianggap belum mampu mengerti peraturan sepak bola yang hakiki. Selain dari faktor teknologi yang kurang memadai, mereka seolah tidak memahami arti dari kata "offside" yang sering menimbulkan kesalahpahaman antar pemain, sehingga tak sedikit adu jotos pun mewarnai pertandingan dramatis yang tersaji. 

Selain itu, kabar miring terkait skandal pengaturan skor "Match Fixing" telah terumbar dimana - mana. Ini memang sudah saatnya perlu pemberdayaan SDM yang mumpuni untuk berani mengadili dan juga ditunjang dengan pembangunan teknologi VAR - Video Assistant Referees. Jadi, perbaikan sistem peraturan mendasar dan keadilan dalam lapangan sangat diharapkan demi kemajuan persepakbolaan Indonesia yang masih minim prestasi.

Pembahasan eksternal persepakbolaan Indonesia sudah membuat muak para penikmat si kulit bundar. Lalu, hanya itukah yang membuat chaos di setiap laganya ? Masyarakat hendaknya berpikir, hampir semua masalah berakar pada internal organisasi - PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia). Sesungguhnya, internal organisasi sudah amburadul, tercipta modul baru, tanpa diketahui pihak pimpinan. Korupsi merajalela. Peraturan dilukai dan dicederai oleh sikap - sikap pecundang dan pengecut mafia sepak bola. 

Dunia sepak bola yang seharusnya menjadi ajang hiburan bagi khalayak awam berubah menjadi ajang kontestasi politik elit - elit penguasa yang penuh dengan intrik. Siapa yang berkuasa memiliki andil yang akan memuaskan keputusan yang diciptakan. Menganggap sudah biasa dan tak ada yang berani menepis, aturan pun dilibas habis sehingga tercipta pihak idealis yang apatis. Seolah tak mau kalah, seperti tak punya salah, mereka dengan serakah meraup keuntungan hibah yang seharusnya memiliki fungsi dalam pembangunan dunia sepak bola yang saat ini sedang parah penuh masalah.

Fenomena pun timbul hingga akhirnya pecah telur. Dulunya suporter memiliki gelora semangat setia hingga meneriakkan yel - yel bermotto, "Menang kau kusanjung. Kalah kau tetap kujunjung". Nasionalis fanatisme suporter sangat erat kala itu dengan kemenangan tim nasional Indonesia. Namun, paradigma sekarang sudah berbeda, ketika timnas Indonesia berlaga, tiada lagi hamburan penikmat setia yang mau menyaksikan keberingasan timnas di medan laga. 

Semua itu karena adanya mosi tidak percaya terhadap persepakbolaan Indonesia akibat masyarakat awam yang reaksioner karena menganggap pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Menpora) dan khususnya pihak PSSI sebagai penyelenggara tidak becus dalam menangani masalah ini. Ada anggapan bahwa dualisme jabatan mempengaruhi kinerja pucuk pimpinan dalam mengambil keputusan.

 Kini "pamit undur diri" menjadi bukti ketidakseriusan atasan yang menyisakan polemik hingga perlunya ditelisik lebih dalam. Pergantian pimpinan seolah membawa ke dalam kondisi tabu, tidak bisa sepaham dengan kepengurusan lama, sehingga pada akhirnya harus regenerasi total pula. 

Lalu, PSSI Bisa Apa ? Terlihat nyata para elit pimpinan justru tidak ada niatan untuk memberantas dari dalam. Kasus bergulir dibiarkan terpendam, kompetisi mulus dilacurkan, dan perputaran fulus haram diringkus pula bahkan seperti dipelihara. PSSI dan prestasi macam dua ujung yang sulit bertemu. Keseriusan organisasi ditangguhkan hingga timbul pertanyaan, " (PSSI) Apa Bisa ?"

Sanak saudara di Papua, pulau paling ujung timur negara Indonesia, menitipkan salam pada kita. Mereka mengatakan, "Orang - orang Papua cuma punya satu menjadi Boaz Salossa. 

Harapan kami hanya sepak bola. Tapi, sekarang pekerjaan cuma dua, kalau tidak nelayan, yaa tangkap ikan saja". Makna tersirat mengubah pola pikir khalayak pembaca bahwa jangan pernah sekali - kali menciderai persepakbolaan Indonesia dengan siasat politik yang merajalela. Kini terkuak sudah apa yang ada dibenak mereka. Kesadaran membuatnya merubah mimpi yang tak mungkin digapai dengan mudahnya.

Dari saya, Pak Soekarno doeloe pernah berkata, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Tapi itu kan kurang satu untuk tim sepak bola ? Kalau begini terus, lalu kapan kita masuk piala dunia ? Ini semua karena "Gelombang Ambisi - Nihil Prestasi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun