Mohon tunggu...
Narendra S. Herman
Narendra S. Herman Mohon Tunggu... -

human being

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mempersoalkan Visi Demokrasi Prabowo Subianto

9 Juni 2014   22:55 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tema debat Capres yang pertama malam ini adalah tentang Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian Hukum. Ada beberapa catatan menarik yang bisa diajukan kepada Prabowo Subianto.

Kita tahu Prabowo memang tersandera dengan kasus masa lalu terkait pelanggaran HAM yang pernah dilakukannya sewaktu masih berdinas di militer. Pelanggaran terhadap kebebasan warga negara, dalam hal ini para aktivis PRD, melalui aksi penculikan inilah yang menjadi penyebab utama kenapa Prabowo diberhentikan dari dinas militer.

Tapi bukan kasus pelanggaran HAM di masa lalu ini yang akan dibahas terkait tema debat capres malam ini. Ini adalah tentang hari ini dan masa depan: bagaimana sikap Prabowo Subianto terkait isu demokrasi dan kebebasan warga negara jika terpilih sebagai presiden 2014-2019.

Pertama, pada pencapresan kali ini Prabowo didukung oleh Front Pembela Islam (FPI). Dan ini isu krusial yang harus dijawab oleh Prabowo: bagaimana sikap dia terkait tindakan dan aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh kelompok sipil?

Tak perlu berpanjang-panjang, FPI adalah pelaku berbagai tindakan intoleran. Sudah tak terbilang kasus kekerasan yang mereka lakukan. Sebagian dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, sebagian lagi berlindung di balik kata “oknum anggota”. Sudah sangat biasa kita dengar FPI melakukan penyerbuan terhadap acara-acara diskusi. Bukan sekali dua FPI terlibat aktif dalam menghentikan atau membubarkan acara-acara yang mereka anggap berbahaya, seperti konser musik, diskusi buku, dll.

Belum lagi dukungan yang diberikan ormas-ormas agama lainnya yang selama ini getol mengkampanyekan kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah. Sementara kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas ini dari hari ke hari di era SBY frekuensinya semakin tinggi dan berlangsung pembiaran. FPI sendiri sebagai imbalan atas dukungannya terhadap Prabowo menuntut tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok yang mereka anggap sesat ini. Di sisi lain, Gerindra dan tim Prabowo juga dengan sangat bangga di awal-awal kampanyenya beberapa waktu lalu berbicara tentang “pemurnian agama”.

Apa jaminannya dari Prabowo bahwa di era kepemimpinannya kelak jika terpilih FPI tidak akan melakukan tindakan intoleran? Apa jaminan dari Prabowo agar kasus-kasus gereja disegel, ibadat diserbu dan dipukuli, atau diskusi buku yang dibubarkan tidak akan terjadi dan terulang lagi?

Kedua, pertanyaan tentang pembangunan demokrasi ini penting karena Manifesto Partai Gerindra secara terbuka punya nuansa menyepelekan kebebasan. Berikut kutipannya:

Terkait dengan pelaksaan demokrasi yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah menghadapi pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau kebebasan yang sebebas-bebasnya. Menghadapi pilihan itu, Partai Gerindra akan mengutamakan kemakmuran rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan hanya merupakan salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan bernegara adalah kemakmuran rakyat.

Kalimat-kalimat di atas penuh kecurigaan terhadap demokrasi dan kebebasan. Kenapa Gerindra harus menggunakan kata “kebebasan yang sebebas-bebasnya”? Apa yang dimaksud dengan “kebebasan yang sebebas-bebasnya”? Siapa yang berhak menafsirkan kebebasan yang ini adalah kebebasan yang sebebas-bebasnya dan kebebasan yang itu bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya? Apakah diskusi buku, konser musik Lady Gaga, dll., itu sebagai bentuk kebebasan yang sebebas-bebasnya sampai-sampai akan membiarkan FPI dan konco-konconya untuk main serang dan main bubarkan semena-mena?

Kalimat-kalimat dalam Manifesto Partai Gerindra di atas itu seakan mempertentangkan antara “demokrasi” dan “kemakmuran rakyat”. Bicara tentang mengedepankan “kemakmuran rakyat” dan menganggap demokrasi tidak lebih penting dari “kemakmuran atau kesejahteraan rakyat” dulu digunakan oleh rezim despotik, otoriter dan korup Orde Baru untuk menggebuk kekuatan-kekuatan kritis. Siapa yang kritis dan mengancam kekuasaan, dianggap sebagai “gerombolan yang mengganggu ketertiban dan pembangunan”.

Apa hasilnya? Makmur tidak, sejahtera tidak, bebas juga tidak. Terbukti di masa lalu, jargon “kemakmuran rakyat” itu hanya memakmurkan golongan sendiri, dinasti sendiri, dan kelompok sendiri.

Demokrasi dan kesejahteraan bukanlah dua hal yang patut untuk dipertentangkan. Keduanya bisa kompatibel. Upaya memperhadapkan antara demokrasi dan kebebasan dengan kesejahteraan atau kemakmuran adalah kampanye yang negatif dan asersif terhadap pentingnya demokrasi dan kebebasan warga negara.

Ketiga, pembangunan di masa depan sudah tidak bisa lagi mengabaikan faktor-faktor pembangunan ekonomi kreatif. Pemerintahan SBY dengan cukup baik mulai menyadari hal itu dengan memasukkan elemen ekonomi kreatif ke dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Industri kreatif seperti film, musik, seni rupa, animasi, dll menjadi industri yang sangat penting untuk dikembangkan. Salah besar jika Industri Kreatif melulu dipahami semata hanya seperti industri kerajinan tangan belaka.

Untuk membangun industri kreatif yang sehat, prasyarat pentingnya adalah demokrasi dan kebebasan bagi generasi muda untuk mengembangkan semua minat dan potensi kreatifnya. Bukan hanya bicara tentang bantuan modal usaha belaka, tapi terutama ikut menyiapkan iklim yang sehat, kreatif, dan bebas dari intimidasi menjadi prasyarat yang penting.

Anda tidak bisa bicara tentang industri film dan musik yang kuat jika membiarkan kelompok-kelompok intoleran dengan seenaknya membubarkan diskusi, menggrebek PH yang membuat film yang kritis, menyerbu bioskop yang menayangkan film yang dengan entengnya dianggap sesat. Iklim industri kreatif tidak bisa tumbuh dalam suasana intimidasi, teror, dan pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleran.

Jokowi sudah memberi cukup bukti bagaimana dia membangun iklim yang sehat dan kreatif selama menjadi pemimpin di Solo. Apa yang bisa dijanjikan oleh Prabowo terkait membangun iklim demokrasi yang sehat dan kreatifitas yang bebas dari intimidasi?

Anda tidak bisa lagi bicara bahwa rakyat tidak butuh HAM karena rakyat lebih butuh makan. Karena hanya warga dan rakyat yang masih hidup yang masih butuh makan. Rakyat memang butuh makan, tapi rakyat yang butuh makan adalah rakyat yang masih hidup. Karena mereka yang sudah mati dalam kamp tahanan dan penculikan jelas tidak butuh makan.

Demokrasi dan kesejahteraan rakyat bukanlah opsional. Keduanya adalah amanat konstitusi dan amanat reformasi.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun