Mohon tunggu...
Radian A
Radian A Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar jadi manusia

Karena "bio harus diisi" maka ingin ku ceritakan tentangku kepadamu, namun nanti ... saat kita bersua di dalam kedai, bertemankan bergelas-gelas kopi. Akan ku isi bio-ku di hatimu, tanpa terkecuali, jujur dan apa-adanya. :p

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pasrah!

9 Februari 2020   18:52 Diperbarui: 9 Februari 2020   20:21 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pixabay.com

 

Sudahlah, aku menyerah dengan gundah yang tak jua lelah. Mentari telah jingga memerah, hati sudah inginnya marah, tetapi cukuplah rasanya ... aku pasrah!

Aku lelah menunggu mentari mengintip di ujung padang ilalang nan gersang. Seperti halnya kamu gundah menanti kecup sang kumbang penyanding datang. Namun waktu belum memberi restu kita, untuk pelukan rindu jadi satu rasa, kini bayangan semumu menemani ku lara, berharap rembulan syahdu obati rinduku nestapa, hingga kenangan berdebu kembali bersua.

"Hai kamu!" sapaku padamu,
"Hai juga!" jawabmu padaku,
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku biasa.
"Baik saja, kalau ... kamu?" balikmu bertanya.
"Aku ... aku ... aku ... rindu kepadamu! Tentu saja aku rindu, waktu kita bercumbu rayu, beradu rasa kamu-aku. Dan dulu? 'Satu cinta' janjimu slalu."

Sungguh ku ingat saat pertama kita bertemu, meski tak ingin aku bertamu, namun kala itu senyummu yang manis bermadu, membuatku tak ingin ini hanya berlalu.

Oh Tuhan, mimpi apakah aku semalam. Kita berdua diantara lampu temaram, Dalam bayang tanganmu ku genggam. Maka terhapuslah segala muram. Terlebih lagi, menatap rambutmu yang hitam panjang terurai, lenggokmu ayu lemah gemulai. Kau membuatku terbuai, betapa rasanya kuingin membelai.

Andai aku bisa terbang, kan ku bawa kau melayang, menembus bintang, menuju awang-awang. Namun tak perlulah ku bermimpi, karena nyata kau ada disini, memakai blouse dan rok mini, "Oh My Godness, kau seksi sekali!"

Kau tertawa, "hahahaha ... jangan abang terlalu memuji!"

"Hei gadis, Aku bukanlah sang pemuja, namun senyummu membuatku terpenjara, jadi jangan salahkan aku yang beranjak gila, karena kamu terus saja membuatku terpana. Bayangkan pula ketika kau tertawa, sembari memukul paha dengan manja, lekaki mana tak tergoda olehmu oh ... jelita!"

Kau menggenggam tanganku dengan erat. Tubuh kita semakin dekat, bibir kita saling melumat, merapat hingga hangat. Seolah meyakinkan hati kita berdua telah terikat tali kuat yang menjerat meski maut menjemput janji kan tetap terpaut.

Kini ku melihat pakaianmu rapi berkelas, dengan merek papan atas. Membuatku kadang berpikir, "Apakah kita pantas, sedang parfummu saja beli dari paris?"
"Tetapi apakah cinta mengenal kelas, ruang dan batas?"
"Benar cinta tak mengenal batas, namun kita hidup di dunia nan panas, yang selalu memandang orang dengan miris atau tertawa puas jika ada yang terkena naas."
"Biarlah mereka memandang miris, yang penting cintaku tak tergores apalagi teriris."
"Oh gadis, Aku rasa aku tlah jatuh cinta pada pandanganmu yang luas dan tak terbatas."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun