Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memprihatinkan: Mimbar Akademis Ditumbangkan Mimbar Jalanan

18 April 2014   02:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah beberapa rekan Kompasianers yang menulis soal penolakan segerombol mahasiswa ITB yang memanfaatkan mimbar jalanan untuk menolak penggunaan mimbar akademik oleh Jokowi. Jadi, di sini saya hanya sedikit menggoreskan keprihatinan saya soal sikap para mahasiswa ITB yang tidak akademis sama sekali. Saya melihat ini sebagai sebuah ironi besar di sebuah kampus ternama bernama ITB!

Harus dicatat bahwa Jokowi tidak berkunjung, apalagi berkunjung dalam rangka politik. Tepatnya, Jokowi diundang untuk memberikan studium generale (kuliah umum). Jadwal itu sudah diatur sejak bulan September 2013.

Membaca beberapa postingan online di Internet, saya melihat bahwa penolakan itu dilakukan atas dasar anggapan adanya dua kejanggalan berkait kedatangan Jokowi. Dan saya akan langsung memberikan tanggapan saya terhadap kedua anggapan tersebut.

Pertama, walau penjadwalan itu sudah diketahui, namun Jokowi ditolak karena kedatangannya terjadisesudah deklarasinya sebagai Capres. Implikasi dari alasan ini adalah bahwa karena Jokowisudah mendeklarasikan diri sebagai Capres, maka kedatangannya ke ITB merupakan politisasi Kampus, alias cari dukungan suara dalam rangka jabatan politisnya. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, saya melihat ini sebagai ironi bahkan pertunjukan kemiskinan logika karena sangat jelas bahwa alasan ini adalah sebuah sesat pikir yang namanya berasal dari frasa bahasa Latin: Post hoc, ergo propter hoc.

Kedua, kedatangan Jokowi dianggap mengandung kejanggalan lain yaitu bahwa konten studium generale itu tidak diumumkan dalam bentuk spanduk atau apa pun. Saya tidak melihat bahwa alasan ini benar-benar harus dianggap besar untuk membuat para intelektual muda yang entah prestasi akademisnya seperti apa harus turun ke jalanan memanfaatkan mimbar jalanan, ketika mimbar akademis terbuka bagi mereka untuk bersuara secara elegan. Saya harus mengemukakan klaim ini, karena terpampang di berbagai berita online bahwa konten dari studium generale itu adalah tentang pembangunan Jakarta. Jika begitu, sebenarnya alasan ini tidak lagi menjadi sebuah kejanggalan karena kontennya sudah menjadi konsumsi publik. Dengan demikian, mau tidak mau kita harus berkesimpulan, by implication, bahwa penolakan itu soal pemanfaatan media (dalam hal ini: spanduk, dll.) yang menjadi keharusan. Jadi bukan soal kontennya tidak diketahui, tetapi sosialisasi konten via media yang tidak sesuai dengan keinginan para "pengkhotbah" jalanan itu. Apakah ini sesuatu yang luar biasa sekali sehingga harus diresponsi dengan bergerombol di jalanan? Saya tidak melihat dasar pengiyaannya di mana! Lagi pula, jika pemanfaatan media-lah yang dianggap tidak sesuai, maka di manakah hubungannya dengan tuduhan bahwa terjadi politisasi kampus dengan adanya kedatangan Jokowi? Non sequitur!

Ketiga, mari kita berandai-andai. Seandainya benar bahwa kedatangan Jokowi memiliki hidden agenda, lalu mengapa tidak memilih mempersilakannya berbicara sebagai seorang akademisi, kemudian para intelektual muda yang tidak logis itu (lih. dua argumen di atas) berdiri kemudian menyampaikan opininya di hadapan mimbar akademis di Kampus mereka? Mengapa memilih mimbar jalanan, ketika mimbar akademis tidak dilarang? Masuk akalkah sebuah lumbung akademis bernama ITB justru menghasilkan para mahasiswa yang lebih suka memanfaatkan mimbar jalanan ketimbang mimbar akademis? Astaga!!


Bagi saya alasan bahwa itulah demokrasi sebagai pembenaran bagi tindakan para mahasiswa itu justru menodai demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak mengharuskan penggunaan mimbar jalanan sebagai tempat berkoar-koar. Dalam konteks Kampus, mimbar jalanan dapat dimanfaatkan jika dan hanya jika mimbar akademis telah diboikot. Apakah ada boikot semacam itu di ITB? Yang kita ketahui, justru para mahasiswa itulah yang memboikot mimbar akademis dan menggantikannya dengan mimbar jalanan. Lalu itukah yang bernama demokrasi?

Maka para mahasiswa yang tidak logis itu berpikir bahwa mereka sedang mempertontonkan sebuah idealisme bernama menjaga netralitas Kampus, tetapi sayang sekali, mereka justru mempertontokan diri sebagai orang-orang yang irasional di hadapan publik!

Mungkinkah ITB perlu menambah SKS mengenai logika bagi para mahasiswanya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, penolakan itu adalah sesuatu yang tidak logis! Dan itu tidak mencerminkan nama besar ITB sama sekali. Maaf!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun