Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Argumen Ini Sering Digunakan Kaum Atheis

21 November 2014   19:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:12 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://spauldinggrp.com/

[caption id="" align="aligncenter" width="509" caption="http://spauldinggrp.com/"][/caption] Dalam perjalanan menuju Lausanne dari Zurich, saya sempat bercakap-cakap dengan seseorang (sebut saja: George) yang mengaku diri atheis. George mengungkapkan itu setelah mengetahui bahwa bidang kepakaran saya, salah satunya, adalah filsafat dan teologi. Percakapan yang tidak terlalu panjang namun bagi saya, bernas! Kami berbincang tentang the possibility of inspiration (kemungkinan [adanya] pewahyuan). Sebagai seorang atheis, tentu ia menolak posibilitas itu sama sekali. Baginya, tidak ada yang namanya absolute truth (kebenaran mutlak). Ini adalah konsekuensi logis dari atheisme. Ini adalah semacam properti dari atheisme akibat penolakkannya terhadap eksistensi Allah. Allah tidak ada, maka tidak ada pewahyuan (inspirasi), juga tidak ada kebenaran mutlak. Saya mencoba menempatkan argumen George dalam konteks Indonesia. Kita mengenal lima agama besar di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Dari lima agama besar ini, kita bisa sedikit mereduksinya menjadi empat agama besar, karena Protestan dan Katolik mengakui kitab suci (Alkitab) yang sama meski berbeda dalam hal apakah deutero-kanonika merupakan bagian otoritatif atau tidak. The Argument from differences George menyatakan sesuatu seperti ini. Islam mengakui hanya Alquran firman Allah; Kristen mengakui hanya Alkitab firman Allah; Budha mengakui hanya Tripitaka yang otoritatif; dan Hindu mengakui hanya Wedha yang otoritatif. Semua agama besar ini mengklaim bahwa hanya kitab sucinya lah yang benar-benar benar! Saya baru saja mengklik sebuah tulisan dari seorang atheis di Kompasiana yang menggunakan argumen seperti di atas. Penulis yang bersangkutan menambahkan juga bahwa kitab suci yang sama dapat ditafsirkan sangat beragam oleh para pemeluknya sendiri. Bukan hanya itu, evolusi serta keragamanan linguistik juga dikemukakan sebagai penguat bahwa pewahyuan (inspiration) merupakan sebuah absurditas. Menurut hukum non-kontradiksi, semua kitab suci ini bisa saja sama-sama salah (bukan merupakan firman Allah), tetapi tidak semuanya pada saat yang sama adalah firman Allah yang satu-satunya. Mengacu kepada kriteria hukum non-kontradiksi ini, George maupun rekan atheis di atas akan menyimpulkan bahwa adalah lebih logis untuk percaya bahwa semua kitab suci yang diklaim oleh para pemeluknya sebagai firman Allah itu sama-sama bukan firman Allah ketimbang percaya bahwa salah satunya adalah firman Allah yang sebenarnya. Bahkan, sebagai atheis, mereka harus menyimpulkan bahwa tidak ada pewahyuan sama sekali. Argumen di atas biasanya disebut dengaan istilah the argument from differences. Orang berargumen dengan beranjak dari perbedaan-perbedaan yang secara faktual ada. The logical fallacy of the argument from differences Sebelum mengemukakan tanggapan, saya ingin meletakkan dua poin penting berkenaan dengan argumen yang logis. Sebuah argumen yang logis, harus memenuh dua kriteria ini: Pertama, argumen itu haruslah argumen yang valid. Argumen yang valid adalah argumen yang kesimpulannya diharuskan secara logis oleh premis-premisnya. Tanpa validitas, sebuah argumen harus ditolak pada kesempatan pertama. Tidak perlu lagi sama sekali diperiksa lebih lanjut apalagi dianut sebagai dasar untuk sebuah keyakinan! Kedua, sekalipun sebuah argumen itu valid, ia belum tentu merupakan argumen yang benar karena sebuah argumen yang benar haruslah argumen yang premis-premis serta kesimpulannya sound (saya kesulitan menerjemahkan istilah "sound" ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin lebih dekat untuk menerjemahkannya menjadi "benar"). Mengacu kepada dua kriteria argumen yang logis di atas, saya menilai the argument from differences di atas adalah argumen yang invalid (tidak valid)! Mengapa? Pertama, saya menyatakan secara langsung kepada George waktu itu bahwa the conclusion doesn't follow from the premises. Kesimpulannya tidak diharuskan secara logis oleh premis-premisnya. Fakta bahwa orang berbeda pendapat atau mengemukakan klaim yang berbeda bahkan saling berkontradiksi mengenai pewahyuan, tidak mengharuskan kesimpulan bahwa tidak ada pewahyuan. Kita bisa saja berbeda pendapat bahkan berkontradiksi dalam klaim kita tentang A, tetapi perbedaan bahkan kontradiksi itu tidak berarti bahwa tidak ada A. Saya menyatakan kepada George: "If you and I were disagree on the question of whether the earth is round, our disagreement would certainly not be proof that the earth has no shape." Saya juga mengemukakan contoh lain kepada George: "The fact that a skinhead (salah satu tipe dari Neo-Nazi) and I may disagree on the question of whether we should treat people equally is certainly not sufficient reason to conclude that equality is not an objective moral value." Jadi, sekali lagi, menolak the possibility of inspiration atas dasar perbedaan-perbedaan atau kontradiksi klaim-klaim yang beredar, merupakan sebuah argumen yang invalid! Kedua, hukum non-kontradiksi tidak mengharuskan kesimpulan rekan-rekan atheis di atas. Mengacu kepada hukum non-kontradiksi, kita seharusnya bukan hanya berhadapan dengan pilihan: "bisa saja sama-sama salah" dan "tidak mungkin sama-sama benar pada saat yang sama dalam aspek yang sama". Ada pilihan lain juga dari kriteria ini yaitu bahwa "salah satu di antaranya memang benar-benar benar." Hukum non-kontradiksi tidak pernah berarti bahwa "tidak ada yang benar ketika dua klaim saling berkontradiksi". Menggunakan hukum non-kontradiksi untuk menolak the possibility of inspiration merupakan sebuah penyalahgunaan (misuse) dari hukum ini. Ketiga, the argument from differences harus (secara logis) mengasumsikan relativisme. Ringkasnya seperti ini: karena ada klaim yang berbeda mengenai A dan bahwa tidak ada satu klaim pun yang dapat secara meyakinkan diunggulkan, maka semua klaim tentang A adalah relatif. Karena kemungkinan mengenai adanya pewahyuan mengasumsikan adanya sesuatu yang absolut, sedangkan semua klaim mengenai pewahyuan saling berbeda bahkan berkontradiksi, dan bahwa karenanya segala klaim ini menjadi relatif, maka tidak ada pewahyuan. Singkat saja. Relativisme itu self-refuting. Ia menolak-dirinya-sendiri sebagai sesuatu yang benar. Jika segala sesuatu itu relatif, maka bahkan kalimat bahwa "segala sesuatu itu relatif" tidak benar. Self-refuting claims itu semisal menyatakan, "I cannot say a word in English". Ini adalah pernyataan yang menolak dirinya sendiri, karena ia mengatakannya dalam bahasa Inggris untuk mengatakan bahwa ia tidak dapat mengatakan sebuah kata pun dalam bahasa Inggris. Juga misalnya seseorang menyatakan, "I do not exist". Ini adalah self-refuting karena ia harus eksis untuk menyatakan saya tidak eksis. Karena ia mengasumsikan relativisme, sebuah paham yang self-refuting, maka ia menolak dirinya sendiri sebagai alternatif yang yang benar. Beberapa contoh lain Saya sengaja menuliskan kembali pengalaman diskusi di atas karena dua alasan. Pertama, saya mendapati bahwa argumen di atas cukup sering digunakan rekan-rekan atheis saya ketika berdiskusi dengan mereka. Dan kedua, saya melihat beredarnya argumen yang sama dalam masyarakat dengan "balutan" yang sedikit berbeda walau mungkin mereka tidak menyadari implikasi serta konsekuensi-konsekuensi logisnya. Beberapa di antaranya saya kemukakan secara ringkas di bawah ini:

  • Setiap penganut agama tertentu mengklaim bahwa agamanyalah yang benar. Penganut agama lain juga mengklaim begitu. Maka, tidak ada agama yang benar!
  • Setiap orang memiliki standar moral yang berbeda. Orang saling berbeda pendapat tentang, mis. aborsi dan homoseksualitas. Maka tidak ada standar moral yang objektif.
  • Setiap orang, agama, atau kelompok etnis memiliki pemahaman serta klaim yang berbeda bahkan berkontradiksi tentang Tuhan, maka Tuhan tidak ada.

Saya percaya, Anda mungkin saja sesekali tergoda untuk mengasumsikan, jika tidak mengemukakannya secara eksplisit, argumen di atas. Saya harus mengingatkan Anda bahwa the argument from differences yang terekspresi dalam bentuk yang berbeda di atas, merupakan argumen yang invalid. Tidak valid. Tidak sah. Dan karena tidak valid, maka argumen itu tidak benar!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun