Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ekonomi Sampah Plastik Jadi BBM, Paving, Ecobricks hingga Aspal

22 Maret 2024   17:08 Diperbarui: 23 Maret 2024   02:34 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin pengubah plastik low value menjadi BBM (kiri atas) mangkrak di TPS salah satu kabupaten Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)

Semua sampah bisa didaur ulang. Tidak ada yang tidak bisa didaur ulang. Asal diketahui bahan baku pembuatannya, maka akan diketahui juga bisa didaur ulang jadi apa.

Dengan prinsip semua sampah bisa didaur ulang, maka Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab mendaur ulang sampah. Sebab, produsenlah yang tahu apa dan bagaimana barang itu dibuat. Sehingga pasti tahu juga kalau sudah rusak atau tidak terpakai atau habis masa pakainya atau kadaluarsa, barang itu bisa didaur ulang jadi apa.

Atas dasar itu sampah kemudian menjadi bahan baku ekonomi untuk didaur ulang. Ada nilai ekonomis dalam sampah itu. Yang sebenarnya berdasarkan UUPS tujuannya bukan nilai ekonomis sampah itu sendiri, melainkan nilai upaya atas pengelolaan sampah. Maka di UUPS itu diatur pasal tentang insentif.

Namun di dunia persampahan Indonesia sudah terlanjur terjadi transaksi atas nilai dari sampah itu sendiri sebagai bahan baku pada industri daur ulang. Istilah insentif tidak dikenal luas sehingga nyaris tidak berlaku.

Karena transaksi sampah dinilai dari nilai bahannya, maka sampah kebanyakan tidak "pulang" ke sumbernya dibuat. Barang itu masuk ke berbagai industri daur ulang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan tempat awalnya dibuat. Dari sinilah akhirnya produsen teralienasi atau asing dari sampah yang diproduksinya sendiri.

Disebabkan transaksi atas nilai bahan sampah itu juga akhirnya ada status sampah layak daur ulang (LDU) dan sampah bisa daur ulang (BDU). Terutama untuk sampah-sampah plastik.

Status LDU dan BDU berlaku di kalangan industri daur ulang. Sampah LDU nilai ekonominya tinggi, permintaan banyak, dan saling berebut untuk mendapatkannya. Bahkan jika perlu sampai impor sampah dari luar negeri dengan alasan kebutuhan bahan baku daur ulang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.

Sebaliknya BDU. Nilainya murah, cenderung tidak laku, lebih banyak dibuang. Plastik dengan status ini bisa didaur ulang tapi sulit. Tingkat kesulitannya membuat proses daur ulangnya mahal sampai hampir sama biayanya dengan membeli bahan baku ori atau original.

Maka, sampah plastik BDU ini lebih baik dibuang daripada membebani produksi. Sehingga muncullah istilah low value (bernilai rendah). Bahkan bukan hanya bernilai rendah, lebih tepatnya tidak bernilai sama sekali.

Plastik low value itu contohnya seperti plastik multilayer kemasan atau sachet makanan dan minuman, shampo, sabun, minyak dan lain-lain. Juga kantong-kantong plastik dari berbagai bahan. Atau bisa juga plastik LDU tapi kotor, sehingga dinyatakan sebagai plastik low value.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun