Sudah 26 kabupaten/kota dan 3 provinsi yang kepala daerahnya mengeluarkan peraturan larangan penggunaan kantong plastik. Peraturan yang sesungguhnya memicu makin banyaknya sampah plastik karena tidak terkelola.
Kondisi tersebut tentu bukan hasil yang diharapkan dari upaya pelarangan kantong plastik. Ini yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.Â
Melarang kantong plastik bukan berarti tidak membolehkan plastik. Sementara kebijakan pelarangan kantong plastik secara luas menutup ide pengelolaan plastik.
Padahal plastik bukan hanya kantong plastik saja. Ada wadah minuman plastik, ada sachet minuman plastik, ada bungkus makanan plastik, ada bungkus tisu plastik, ada tas belanja berkali pakai plastik dan banyak sekali produk lain dari bahan plastik.
Konon (karena tidak ada data yang valid soal plastik) dari 100% plastik yang beredar di Indonesia, hanya 20% yang berupa kantong plastik. Sedangkan sisanya berbentuk sachet, bungkus snack, bungkus makanan, wadah plastik keras, wadah plastik tebal, tas belanja, sendok, garpu, kotak makan dan lain-lain.
Itu adalah data perkiraan dari pengusaha daur ulang multilayer.
Jadi, hanya gara-gara ingin menghindari kantong plastik yang 20% itu, akhirnya plastik yang 80% tidak dikelola. Orang-orang hanya melihat kantong plastik yang merusak lingkungan karena paling banyak terlihat di TPA atau TPS sebagai kantong sampah.
Orang-orang tidak pernah memeriksa isi kantong plastik sampah itu. Mereka harusnya tahu bahwa isinya adalah plastik - plastik yang lebih kecil lainnya.
Maka sebenarnya, langkah kepala daerah mengeluarkan peraturan pelarangan kantong plastik adalah bentuk dari kebingungan. Orang-orang yang awam soal pengelolaan sampah akan menilai ini sebagai kebijakan populis menyelamatkan lingkungan di daerahnya.Â
Padahal, kebijakan pelarangan sesungguhnya hanya memperlihatkan kelemahan sendiri. Baik kelemahan dalam memahami regulasi persampahan maupun kelemahan dalam upaya pengelolaan sampah.
Pelarangan kantong plastik dianggap kebijakan ekstrem, namun tetap saja tidak menyelesaikan masalah sampah.
Jika mau jujur, ada kebijakan ekstrem lain yang bisa diambil pemerintah. Yaitu, mencabut izin dan menutup pabrik kantong plastik. Atau membubarkan semua usaha yang berkaitan dengan kantong plastik dari hulu sampai hilir.
Artinya, jangan tanggung - tanggung. Demi penyelamatan ekologi, sekalian saja korbankan kelangsungan ekonomi rakyat terkait kantong plastik. Suruh mereka bekerja di bidang lainnya.
Asal Muasal Kebijakan Pelarangan Kantong Plastik
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK)-lah yang mendorong pemerintah daerah mengeluarkan aturan pelarangan kantong plastik. Banyak sekali latar belakang yang melingkupi hal itu.
Termasuk dugaan konspirasi seperti yang sering digaungkan pegiat lingkungan dan pemerhati regulasi persampahan Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation  (GiF). Selain itu, diakui atau tidak KLHK tampaknya memang menularkan kebingungannya mengurus sampah ke seluruh Indonesia.Â
Di berbagai tulisannya, baik di media sosial maupun di Kompasiana 'Asrul Hoesein selalu mengaitkan pelarangan kantong dengan dua hal.Â
Pertama soal dugaan penyelewengan dana pemberlakuan kebijakan kantong plastik berbayar (KPB) sejak 2016 yang diubah jadi kantong plastik tidak gratis (KPTG) pada 2019. Kedua, dikaitkan dengan penumpang gelap isu pengurangan plastik dalam bisnis berlabel ramah lingkungan.
Asrul menduga, upaya pelarangan kantong plastik merupakan konstruksi isu untuk menghindari mencuatnya pertanyaan tentang ke mana dan dipakai siapa dana KPB/KPTG. Dana yang menurut Asrul seharusnya dikembalikan untuk pengelolaan sampah itu tak diketahui rimbanya hingga sekarang.
Sebab, ide memberlakukan pembayaran pada kantong plastik  agar membuat masyarakat enggan menggunakan ternyata meleset. Karena murahnya harga yang dipatok, masyarakat tetap rela mengeluarkan dana untuk membayar kantong plastik.
Mestinya-masih menurut Asrul, dana yang dibayarkan masyarakat itu kembali ke masyarakat. Yaitu, untuk diberikan sebagai insentif pada masyarakat yang mengelola sampah 'terutama kantong plastik.Â
Terkait "penumpang gelap", Asrul mengasosiasikan pelarangan kantong plastik dengan persaingan bisnis para pengusaha. Asrul mengaku mengetahui adanya upaya perebutan segmen pasar.
Pasar kantong plastik yang segmennya menengah ke bawah hendak dimasuki pengusaha yang selama ini bermain di segmen menengah ke atas. Kantong plastik yang harganya murah selalu menjadi pilihan rakyat Indonesia daripada kantong lainnya yang harganya lebih mahal.
Maka, isu pengurangan dan pelarangan kantong plastik adalah jalur yang paling aman agar masyarakat mengubah pola konsumsi. Sebab, bisa dilakukan dengan upaya paksa melalui peraturan pemerintah.
Maka jangan heran, ketika terbit peraturan pelarangan plastik, pasti selalu ada pihak yang segera menyediakan kantong pengganti yang lebih mahal dengan klaim ramah lingkungan. Pertokoan atau ritel 'dipaksa' menjual dan masyarakat 'dipaksa' membeli menggunakan aturan yang berkonsekwensi sanksi.
Menyuruh Pedagang Melanggar KUH Perdata
Satu hal lagi soal pelarangan kantong plastik disampaikan Asrul. Menurut dia, pelarangan kantong plastik justru bisa berakibat hukum pada pengusaha toko atau ritel.
Pasal tersebut, lanjutnya, mensyaratkan objek perikatan jual-beli haruslah berupa kausa (sebab, isi) yang halal. Kantong (plastik) tidak dapat dipungkiri merupakan suatu benda yang muncul dalam setiap transaksi jual-beli ritel dari pihak pengusaha ritel selaku si penjual.
"Selama ini begitulah praktek jual-beli barang ritel, guna menyempurnakan serah terima barang yang dibeli darinya maka seluruh barang belanjaan dibungkus dengan kantong plastik. Setelah dibungkus, sempurnalah jual-beli secara ritel tersebut sebagaimana diamanatkan oleh KUH Perdata agar selanjutnya dapat dinikmati oleh si pembeli," terangnya.
Melihat lebih dalam soal kebijakan pemerintah terkait plastik memang akan menghasilkan pemahaman yang luas. Sebab, tidak ada kebijakan yang bergerak di ruang kosong tanpa kepentingan apapun.
Maka soal pengelolaan lingkungan terutama sampah, kita tidak boleh terus menerus awam dan lugu. Kita harus mulai lebih rajin mengkaji persoalan sampah secara komperhensif. (nra)