Kata orang, mimpi itu gratis.
Tapi nyatanya, bagi sebagian dari kita, bahkan untuk memejamkan mata pun butuh keberanian.
Karena saat orang lain menutup mata dan melihat istana, kita malah dihantui pertanyaan:Â
Uangnya dari mana? Bayarnya pakai apa? Kalau gagal, makan apa besok?
Buat kita, mimpi bukan sekadar membayangkan tapi juga menghitung, menakar, dan menyiapkan cara bertahan hidup.
Kita yang Miskin Ini, Mimpi Aja Harus Disaring Dulu
Hidup miskin itu seperti berlayar di perahu bocor. Setiap kali kita menatap cakrawala, tangan kita otomatis kembali menimba air dari dasar perahu. Kita boleh saja menatap bintang, tapi realita membuat kita sibuk memastikan kapal tak tenggelam sebelum sampai tujuan. Hidup yang ga cuma mikirin alur perjalanan menuju mimpi, terkadang mikir untuk kejar umur orang tua.
Anak Yatim Piatu: Belajar Terbang Tanpa Sayap
Anak yatim piatu seperti burung kecil yang dipaksa terbang sebelum bulu sayapnya tumbuh sempurna.
Mereka belajar mencari makan sendiri, belajar menghadapi hujan dan badai tanpa ada sarang untuk kembali.
Bukan berarti mereka tak punya mimpi hanya saja, mimpinya sering disembunyikan jauh di dada, karena terlalu sakit kalau harus patah.
Anak Broken Home: Menjahit Langit yang Robek
Bagi anak dari rumah yang retak, mimpi seringkali seperti langit malam yang bolong, bintang-bintangnya terlihat, tapi jaraknya tak terjangkau.
Mereka sibuk menambal hati, membangun kembali rasa aman yang dirampas sejak dini. Sementara yang lain melangkah ke masa depan, mereka masih berusaha berdiri tegak di hari ini.
Apakah Mereka Tidak Bisa Bermimpi Besar?
Bisa. Tapi jalannya seperti mendaki gunung dengan batu di punggung, setiap langkah terasa dua kali lebih berat.
Yang mereka butuhkan bukan hanya uang, tapi juga seseorang yang berkata:Â "Aku percaya kamu bisa."
Karena kadang keyakinan orang lain menjadi jembatan yang membantu kita menyeberangi jurang keraguan.
Mari Kita Jadi Angin untuk Layang-Layang yang Hampir Jatuh
Mimpi itu seperti layang-layang: ia butuh benang yang kuat dan angin yang cukup.
Bagi sebagian orang, benang itu adalah dukungan, dan angin itu adalah kesempatan.
Kalau kita punya sedikit waktu, dengarkan.
Kalau kita punya sedikit pengaruh, gunakan untuk membuka jalan.
Karena bisa jadi, ucapan sederhana "Aku percaya padamu"Â adalah alasan mengapa seseorang masih mau menerbangkan layang-layangnya di tengah angin yang nyaris mati.
Mari kita saling jadi angin, karena mimpi yang terbang tinggi tak pernah benar-benar milik satu orang saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI