Dari mengarang sederhana pada masa Kurikulum 1947 hingga teks Deskripsi multimodal pada era Kurikulum Merdeka, teks deskripsi secara implisit maupun eksplisit selalu menyertai pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai alat membangun kemanusiaan. Bagaimanapun, menulis deskripsi bukan sekadar menggambarkan, melainkan menghidupkan empati pula. Teks deskripsi mengajarkan kita untuk melihat dengan hati kemudian menuliskannya menggunakan nurani. Pada era supercepat dan serbadigital ini, justru latihan menulis deskripsi tetaplah tidak dapat diabaikan dan semakin dibutuhkan, karena proses penulisannya penuh rasa, mengerahkan pancaindra, dan berakar dari pengalaman personal, bahkan AI pun tidak bisa melakukannya. Â "Bahasa bukan hanya alat untuk berpikir, melainkan juga untuk merasakan" sesuai dengan pendapat Gorys Keraf. Dalam teks deskripsilah letak nilai sejati untuk mendidik manusia agar tetap menjadi manusia seutuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI