Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamanya Guru

28 Oktober 2020   03:59 Diperbarui: 28 Oktober 2020   04:08 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa, 27 Oktober 2020 terjadwal harus Work form Home, sedangkan onair pukul 10.00 sampai 14.00.  Maka, sambil minum kopi saya membuka-buka tulisan saya di kompasiana, barangkali ada komentar yang belum terjawab. 

Tiba-tiba terlihat komentar mbak Dewi Laily untuk tulisan saya yang berjudul "Bapakku, Guruku, Kepala Sekolahku". Komentar tersebut adalah "..jadi tahu gimana rasanya  menjadi anak kepala sekolah ya..." Hehehe. Betul juga ya Mbak Dewi.

Kalau berlanjut menjadi pembahasan suka dukanya menjadi anak kepala sekolah? Ternyata banyak tidak enaknya karena dilarang minta perlakuan istimewa padahal saat itu saya masih kecil. Hehe. 

Perasaan merasa tidak enak akhirnya berkembang menjadi ketidakminatan  mengikuti jejak beliau untuk menjadi kepala sekolah. Jika ada waktu senggang dan rezeki, saya lebih memilih mengikuti kursus yang berkaitan dengan dunia wanita misalnya tata busana dan tata rias, juga kursus musik.  

Yang tak bisa terpinggirkan adalah membeli buku-buku lalu tenggelam ke dalam keasyikan membaca daripada memperlajari ilmu untuk menjadi kepala sekolah demi mengikuti jejak bapak.

Di mana sih tidak enaknya sehingga tidak berminat? Bayangkan. Sebagai kepala Sekolah Dasar di desa tatkala buku-buku perpustakaan diperoleh dari pusat, ketiadaan pustakawan sekolah membuat bapak menambah pekerjaan menjadi rangkap nih. 

Kepala sekolah sekaligus pustakawan.  Dengan cara buku-buku tersebut dibawa pulang, kemudian kami memprosesnya bersama-sama  di rumah. Bapak, ibu,saya, dan adik-adik bersama-sama mengerjakannya. 

Kami memproses sesuai dengan petunjuk pemrosesan buku-buku perpustakaan dari menomori, melabeli, menyetempel, menyampuli. Memang ada untungnya nih. Dari pengalaman  bergumul dengan buku-buku perpustakaan, tanpa sadar, saya tumbuh menjadi kutu buku.

Tatkala awal-awal mengajar, perpustakaan sekolah kami belum memiliki pustakawan, bersama tiga orang teman( bu Esti,bu Ratmi, bu Rani) kami pun mengerjakannya tanpa perintah. 

Dorongan yang lebih mengarah kepada keterpanggilan sebagai guru bahasa, selain kami pun suka membaca. Kesibukan yang membuat ibu menggoda,"Lho, bersibuk di perpustakaan? Memangnya sudah ingin menjadi kepala sekolah?" Hehe.

 Selain merangkap sebagai pustakawan, pekerjaan rangkap berikutnya karena belum memiliki petugas Tata Usaha adalah juga menangani pembayaran SPP. 

Benar-benar multifungsi jadinya. Manager merangkap petugas tata usaha dan pustakawan. Hobi menggambar pun membuat bapak mengisi waktu luang di sore hari untuk menggambar tokoh-tokoh dongeng di kertas manila menggunakan cat air, kemudian menggantungnya di dinding-dinding kelas. 

Ada gambar Kancil dengan mentimun dan pak tani, gambar Malin Kundang, dan lain-lain. Dalam memoriku sebagai anak-anak, kok banyak banget pekerjaan bapak sebagai kepala sekolah?

Itu masih berkaitan dengan pekerjaan, bapak telah memberikan contoh sebagai pekerja multifungsi yang dilakukan dengan senang hati.  Bagaimana dengan sikap? 

Tatkala merambah ke arena sikap, seolah segala langkah selalu diikuti sebuah amanat bahwa kami adalah pegawai negeri, kami adalah abdi negara, kami adalah keluarga kepala sekolah, sehingga setiap langkah harus siap disoroti oleh pendapat dan harapan orang lain akan keteladanan. Kami seolah dibayar untuk memberikan keteladanan. Hehe.

Dari "tuntutan" tersebut, kami empat bersaudara, seakan tak terlintas keinginan mengikuti jejak bapak untuk langkah ke depan, terlebih saat itu masih belum ada tunjangan profesi. 

Bagaimana kami melangkah dengan peran sedemikian berat tapi membeli motor baru pun tidak sanggup, lalu memilih motor bekas.  Saat itu belum ada dealer yang memberikan kreditan motor. 

Baik keinginan berperan sebagai guru apalagi kepala sekolah, yang berperan ganda seperti bapak? Wah...belum terpikir. Ingin berperan sebagai guru pun tidak ingin, apalagi kepala sekolah? Tidak sama sekali.

Sebagai guru muda yang diangkat di wilayah lain kemudian dipanggil pulang ke daerah asal untuk menjabat sebagai kepala sekolah, karena daerah tersebut mulai dibangun sekolah dasar, bapak lebih senang dipanggil "Pak Guru" daripada "Pak Kepala Sekolah".

Kendati menjabat sebagai kepala sekolah sejak muda belia, sejak saya belum dilahirkan.  Sampai kini, saat bapak sudah almarhum, mantan murid beliau selalu menyebut "pak guru, bukan "pak kepala sekolah".

Oleh karena itu, ketika akhirnya saya pun mengikuti jejak bapak sebagai guru, yang terekam di memori saya adalah bahwa saya seorang guru. Andaikan ada perubahan posisi, itu tidak menjadikan saya melupakan ikrar awal pengangkatan PNS bahwa saya adalah guru. Hal yang diperkuat oleh ungkapan seorang dosen saat saya masih kuliah, bahwa beliau adalah dosen. 

Tatkala sempat terpilih menjabat sebagai rektor dan sebagainya lalu jabatan tersebut selesai, maka kembali sebagai dosen adalah hal yang tidak kalah menyenangkan.

Akan halnya keterkaitan dengan pekerjaan, parahnya saya tidak dapat berpaling dari cara kerja bapak sebagai guru. Pekerjaan yang sebetulnya tidak ada hentinya. 

Kesibukan yang diawali dengan menyusun program kerja ditambah dengan keharusan memperluas wawasan, dari membaca koran, buku, sampai siaraan BBC London pun didengarkan oleh bapak, berlanjut dengan melaksanakan pogram, kemudian mengevaluasi. 

Itu pun masih dilengkapi dengan keinginan bapak untuk tetap dipanggil sebagai pak guru. Maka, puncak karier saya sebagai guru yang terekam dalam pikiran bawah sadar adalah bagaimana menjadi guru yang baik.

Anehnya, sampai menjelang akhir perjalanan saya sebagai guru, saya masih belum merasakan kepuasan berperan sebagai guru yang baik. Saya merasakan belum ada totalitas saya sebagai guru baik dari segi afektif, kognitif, maupun psikomotor seperti yang dicontohkan bapak. 

Oleh karena itu, penghargaan prestasi yang saya terima, misalnya Satya Lancana Karyasatya sampai tunjangan profesi (sertifikasi), saya selalu menekankan bahwa seharusnya bapaklah yang menerimanya, bukan saya. Jika saya akhirnya terpilih untuk menerimanya, itu karena imbas keikhlasan bapak dalam bekerja, dan sayalah yang memetik buahnya.

Demikian pula tatkala  beberapa kali  terpanggil sebagai finalis lomba akademis maupun  peserta terpilih untuk mengikuti workshop  ke Jakarta, Bogor, Surabaya, yang diselenggarakan depdikbud, sehingga angan saya untuk bepergian gratis yang meliputi transportasi, konsumsi, sampai dengan akomodasi terpenuhi, saya selalu teringat bapak. 

Bapaklah yang membuat saya harus menikmati anugerah tersebut, karena saat bapak masih muda lomba-lomba tersebut ada kemungkinan belum ada.

Akan halnya perolehan saya yang berwujud materi, tentunya selalu saya syukuri. Walaupun demikian, saya merasa belum total dalam melaksanakan pekerjaan sebagai guru seperti yang dicontohkan  bapak. Perjalanan lambat laun tapi pasti semakin mendekati masa pensiun, saya masih ingin berperan sebagai guru yang baik dan lebih baik lagi. Semoga.

Oleh karena itu, dengan meluangkan waktu senggang untuk menulis, selain memenuhi kebutuhan untuk aktualisasi diri, juga untuk mengenang bapak. Sebagai ungkapan terimakasih, telah mendidik kami anak-anak perempuannya secara maksimal, kendati yang kami tampilkan belum maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun