Keputusan yang dianggapnya terlalu berani mengingat ia pun belum tentu sanggup untuk setia. Belum tentu sanggup menahan kecemburuan, bahkan mungkin kelak ia bisa saja berulah seperti ibunya manakala cemburu. Oleh karena itu, ia seringkali merasa salah  tingkah jika bermalasan di rumah, yang dianggapnya rumah pemberian mertuanya', sedangkan mencari kesibukan pun ia belum memiliki ide.Â
Tatkala suaminya memintanya berkuliah lagi, ia semakin terharu. Ia merasa bernasib bagaikan putri dari negeri dongeng, Sinderela, yang dinikahi pangeran tampan dan kaya.
Dalam kegalauannya saat itu, akhirnya Boy memang datang bak penyelamat. Perhatian yang ditampakkan kepadanya, sama sekali tidak disadarinya bahwa semua itu adalah pemberian ayahnya untuknya. Pemberian agar anak gadisnya tidak diremehkan lelaki. Â Ayahnya menyadari, anaknya sebagai wanita terlebih atas pengaruh ibunya tentu matre juga.
Bagi ayahnya itu bukan masalah karena ia akan membelikannya. Dengan demikian, jika kelak anaknya bermalasan seperti ibunya, ia akan tetap berharga di mata suaminya. Sebagai lelaki, Boy tentu berpikir realistis sama dengan dirinya.
Hmm...terlalu banyak pemberian ayah Tania, gumam Boy menghitung harga rumah dan mobil pemberian ayah Tania yang harganya melebihi satu M bahkan hampir dua M. Oleh karena itu, ia menyarankan Tania kuliah lagi. Anjuran yang disambut dengan penuh keharuan bahwa suaminya sangat mencintainya padahal ia dalam kondisi tidak memiliki apa-apa.
Kalaupun ia cantik dan baik, sangat banyak wanita yang juga cantik dan baik untuk lelaki setampan dan sepintar si Boy. Jika kakaknya, si Rendy, Â dan ibunya sangat perhitungan terhadap materi dan baginya itu juga bukan masalah, ia justru keheranan terhadap keputusan suaminya.
Ia  bergegas masuk ke dalam tatkala angin malam menerpanya keras-keras. Dedaunan pun bergoyang serentak seolah merontokkan genangan air hujan yang bertengger nyaman di setiap helainya. Suaranya terdengar menyeramkan pada malam sepi tersebut.
Suaminya seperti tadi, masih berada di depan laptopnya ditemani buku-bukunya. Ia teringat PR yang belum terselesaikan. Maka, dibukanya buku-buku yang sejak siang tadi sudah dipersiapkan untuk dibaca. Akan tetapi, matanya terasakan sulit diminta terjaga.
      "Begitu bersuami, mengapa aku menjadi malas belajar ya?" didekatinya suaminya lalu dipeluknya dari belakang.
      "Kalau malas belajar ya sudah. Di rumah saja, nggak usah kuliah,"sahut suaminya datar.
      "Kok begitu sih, jawabannya?" protesnya sambil duduk di sebelah suaminya.