Kenaikan harga jagung terjadi sejak awal Agustus. Beragam komentar dilayangkan para pelaku usaha, terutama yang berkecimpung di sektor peternakan. Seperti yang kita ketahui, komposisi pakan ternak didominasi komoditas jagung. Sekitar 45% volume dari total produksi pakan ternak nasional yang mencapai 19,5 juta ton/tahun diisi oleh jagung.
Kenaikan harga ini disinyalir akibat produksi pada semester II yang selalu lebih rendah dibanding semester pertama.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak Desianto menyebutkan, produksi jagung sepanjang semester II biasanya hanya mencapai 35-45%. Dia memprediksikan ini bakal memicu kenaikan harga pakan pada periode tersebut. Dari sini pula dapat disimpulkan, harga daging ayam berpotensi bergejolak lagi.
Desianto juga mengatakan harga pakan sudah naik 5-8%. Jagung dengan kadar air 15% di Jabodetabek dijual seharga Rp4.300-Rp4.400/Kh di tingkat suplier. Sedangkan harga pakan ayam broiler mencapai Rp6.500/Kg dan pakan ayam petelur mencapai Rp5.500/Kg.
"Ada dua isu penyebab kenaikan harga, yaitu raw material naik dan kurs, dan tidak serta merta produsen pakan menaikkan harga, kita tahan dulu," begitu pernyataan Desianto dalam wawancaranya dengan Kontan.
Harga jagung yang tinggi memang menguntungkan petani. Namun tidak demikian bagi para peternak/ Mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli pakan. Ini berpotensi memicu kenaikan harga pada penjualan daging ayam.
Bukan hanya peternakan yang menggunakan jagung sebagai bahan baku. Industri makanan dan minuman pun demikian. Ketua Dewan Jagung Maxdeyul Sola membeberkan pandangan lain ihwal produksi jagung dalam negeri. Ternyata produksi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Mengapa? Sebab kandungan alfatoksin produksi jagung nusantara yang kerap melebihi batas kebutuhan industri pangan. Sehingga impor pun tak terhindarkan.
Lantas bagaimana harusnya produksi jagung dikelola?