Pada 22 Agustus 2025, Ahmad Sahroni, saat kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, menyebut orang yang "hanya bilang bubarin DPR" sebagai "orang tolol sedunia." Tak lama setelah itu, pernyataannya menjadi viral dan menuai kritik luas. Banyak pihak menilai ucapannya merendahkan rakyat dan tak sensitif terhadap aspirasi publik.
Sementara di pihak lain, jauh-jauh sebelumnya, Rocky Gerung kerap melontarkan kata "dungu" menyusul kritikannya atas seseorang atau suatu kebijakan.
Meski sama-sama kasar di telinga, respons publik justru berbeda: Rocky makin menjulang sebagai intelektual publik, sedangkan Sahroni terjerembab dalam badai kritik.
Retorika dan Daya Gugat Kata
Aristoteles, dalam Rhetoric, membedakan tiga unsur persuasi: ethos (kredibilitas pembicara), pathos (daya menggugah emosi audiens), dan logos (kekuatan argumen). Rocky Gerung, meski kontroversial, relatif berhasil memadukan ketiganya. Kata "dungu" ia sertai dengan paparan logis, sehingga menjadi instrumen retorika. Kredibilitasnya sebagai filsuf publik (ethos) membuat kata itu diterima sebagai provokasi intelektual.
Sebaliknya, kata "tolol" yang dipakai Sahroni tampak lebih condong pada luapan pathos---emosi marah---dengan logos yang minim. Akibatnya, ethos-nya sebagai wakil rakyat justru runtuh.
Perspektif Psikologi Komunikasi
Jalaluddin Rakhmat, dalam Psikologi Komunikasi, menekankan pentingnya persepsi audiens: kata yang sama bisa berdampak berbeda tergantung siapa yang mengucapkannya dan dalam konteks apa.
Rocky dipersepsikan sebagai intelektual kritis; kata keras darinya dianggap stimulus kognitif, pemicu berpikir. Sahroni, tanpa reputasi intelektual sekuat itu, dipersepsikan sedang melampiaskan amarah. Maka, "tolol" ditafsirkan publik sebagai stimulus emosional belaka---dan merugikan citranya sendiri.
Rocky Gerung, dengan kata "dungu"-nya, berhasil membangun dan memperkuat citra dirinya sebagai intelektual publik yang kritis. Kata ini bukan hanya sekadar umpatan, melainkan alat retorika yang kuat. Dalam konteks narasi yang ia bangun, "dungu" seolah-olah menjadi undangan untuk berpikir lebih dalam dan menantang status quo. Kata ini terasa memiliki bobot filosofis dan akademis, seakan memaksa pendengar untuk mempertanyakan "siapa yang sebenarnya dungu?" dan "apa yang membuat suatu tindakan atau pemikiran menjadi dungu?".
Pendekatan ini membuat Rocky Gerung seolah-olah tidak hanya menyerang secara personal, tetapi juga secara ideologis. Akibatnya, alih-alih dicap sebagai pemaki, ia justru semakin dipandang sebagai sosok yang berani, cerdas, dan kritis. Kata "dungu" pun tidak berbalik menjadi bumerang, melainkan menjadi identitas khas yang membuatnya makin menjulang di mata sebagian besar pendukungnya.