Setiap bulan Agustus, kita selalu menanti lomba-lomba khas kemerdekaan. Dari balap karung, panjat pinang, hingga tarik tambang---semuanya menjadi simbol kebersamaan dan gotong royong.
Namun belakangan beredar sebuah daftar "parodi lomba 17 Agustus" di media sosial. Isinya sejumlah lomba mulai dari lari dari kenyataan, makan hati, hingga yang lebih ekstrem: ganti pasangan dan bawa lari suami orang.
Sekilas mungkin tampak lucu. Namun jika ditelaah, candaan itu justru menyentuh wilayah yang semestinya dijaga. Perselingkuhan, merusak rumah tangga, atau mempermainkan komitmen bukanlah hal yang patut dinormalisasi---apalagi melalui guyonan yang ramai dibagikan.
Di sinilah pentingnya menyadari bahwa kata-kata, termasuk dalam bentuk candaan, adalah cermin kualitas diri.
Humor perlu, bahkan diperlukan. Ia bisa jadi sarana refleksi. Tapi --dengan contoh tadi-- humor malah bisa menjadi legitimasi perilaku yang tidak bermoral. Ketika kita tertawa pada hal-hal yang (berpotensi) menyakitkan bagi orang lain, tanpa sadar kita mengikis sensitivitas sosial kita sendiri.
Perayaan 17 Agustus seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat nilai kebersamaan, persahabatan, dan keceriaan yang sehat. Jadikanlah humor dalam momentum seperti sebagai perekat, bukan pengikis. Sebab kualitas sebuah bangsa juga tercermin dari bagaimana warganya memilih bercanda.
Merayakan kemerdekaan mestinya menghadirkan keceriaan dan menguatkan nalar yang sehat, bukan mengamini realitas yang justru merusak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI