Disclaimer: tulisan ini diminta yang bersangkutan untuk dinaikkan di kompasiana saya. Saya bertanggungjawab dan menyatakan bahwa tulisan ini asli dan bukan plagiat
Dia galak. Setarikan dengan garis lurus sifat galak sebagai takdir, lembut hatinya dan sikap solider berdiam dalam dirinya. Dia seperti kebanyakan seorang ibu asli Indonesia.
Dia marah,(ngeri ngeliatnya) dan intonasi suara yang sangat khas itu akan terdengar hingga kampung sebelah ketika keterlaluan tak lagi dapat dikompromikan.
Kedua tangannya sangat cepat memeluk ketika  duka dan ketidak adilan terjadi. Ibu ini ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian.
Ketika marah dan tangis terdengar dalam satu cangkang, ini cerita lain. Ini keterlaluan diatas segala keterlaluan yang tak lagi dapat diterima atas alasan apapun.
Biasanya, ini terjadi pada peristiwa yang sudah sungguh-sungguh sangat kebangetan. Di luar batas nalar wajar manusia normal yang seharusnya. Guoblook..banget, kira-kira seperti itu.
Fenomena menarik ini sudah menjadi cerita wajar bagi warga Kota Surabaya. Seorang ibu yang Walikota dalam arti yang sebenarnya.
Perempuan berpredikat Wali Kota dengan sifat keibuan melekat pada dirinya, dan anehnya, tak seorang pun warga Kota Surabaya yang marah dan tersinggung ketika dia dimarahi.
Dia memang diterima layaknya ibu dan bukti bahwa tak ada orang tersinggung ketika ibu itu marah, adalah penjelasan logis.
Bukankah marah seorang ibu adalah bukti beliau peduli? Sayang? Mereka yang pernah dimarahi, merasakan kehadiran seorang ibu.
Dia sangat dicinta warga Surabaya.