Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Risma, Seorang Ibu yang Menteri

14 Januari 2021   10:19 Diperbarui: 14 Januari 2021   10:27 168 0
Disclaimer: tulisan ini diminta yang bersangkutan untuk dinaikkan di kompasiana saya. Saya bertanggungjawab dan menyatakan bahwa tulisan ini asli dan bukan plagiat

Dia galak. Setarikan dengan garis lurus sifat galak sebagai takdir, lembut hatinya dan sikap solider berdiam dalam dirinya. Dia seperti kebanyakan seorang ibu asli Indonesia.

Dia marah,(ngeri ngeliatnya) dan intonasi suara yang sangat khas itu akan terdengar hingga kampung sebelah ketika keterlaluan tak lagi dapat dikompromikan.

Kedua tangannya sangat cepat memeluk ketika  duka dan ketidak adilan terjadi. Ibu ini ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian.

Ketika marah dan tangis terdengar dalam satu cangkang, ini cerita lain. Ini keterlaluan diatas segala keterlaluan yang tak lagi dapat diterima atas alasan apapun.

Biasanya, ini terjadi pada peristiwa yang sudah sungguh-sungguh sangat kebangetan. Di luar batas nalar wajar manusia normal yang seharusnya. Guoblook..banget, kira-kira seperti itu.

Fenomena menarik ini sudah menjadi cerita wajar bagi warga Kota Surabaya. Seorang ibu yang Walikota dalam arti yang sebenarnya.

Perempuan berpredikat Wali Kota dengan sifat keibuan melekat pada dirinya, dan anehnya, tak seorang pun warga Kota Surabaya yang marah dan tersinggung ketika dia dimarahi.

Dia memang diterima layaknya ibu dan bukti bahwa tak ada orang tersinggung ketika ibu itu marah, adalah penjelasan logis.

Bukankah marah seorang ibu adalah bukti beliau peduli? Sayang? Mereka yang pernah dimarahi, merasakan kehadiran seorang ibu.

Dia sangat dicinta warga Surabaya.

Gatal kakinya bila tak blusukan demi solider sikap melekat miliknya dianggap pencitraan oleh banyak pejabat DKI. Gubernur, Wagub, Walikota, anggota DPR super nyinyir hobby film 18 detik hingga orang tua berumur 80 tahun yang katanya paling sangat Jakarta dan  bahkan lebih Jakarta dari siapapun warga Jakarta sepanjang segala masa.

Mereka bilang ibu ini cari sensasi. Gila pencitraan dan gangguan jiwa.

Ibu yang Menteri ini pernah pamit atau minta ijin pada bawahannya. Mohon maaf kalau cara datangnya ke kantor sangat mungkin akan selalu lebih pagi dibanding semua stafnya.

Dia senang dan terbiasa hadir saat matahari pun masih enggan nongol.

Bukan perintah pada para stafnya ikut cara dia datang sangat pagi, meminta ijin sekaligus memberi info agar tak terjadi ewuh pekewuh layaknya orang timur, Indonesia dengan tata krama aslinya.

Ketika tanpa sengaja si ibu menengok ke jendela, dimana batas jarak ruangan ber AC di kantornya yang dingin dan sejuk dan sangat membuat banyak orang lupa betapa panas udara luar di Jakarta, tatapan matanya terhenti pada sosok gelandangan, manusia dalam rupa seperti dirinya. Mereka hidup jauh dari kata layak.

Rasa keibuannya langsung mendesak keluar dalam benak sakit dan perih di dada. Tergopoh sang ajudan dibuat ikut lari persis di belakang langkah kecil dan gesit si ibu menuju kolong jembatan di mana tatapan matanya tadi sempat terhenti.

Disapanya orang itu dengan bahasa yang dia tahu, bahasa seorang ibu.

Keesokan harinya, kolong jembatan itu langsung steril. Perintah PLT Wali Kota sangat clear, jadikan tempat itu bersih. Disaat yang sama, sang punggawa Ibu Kota langsung sembuh dari infeksi yang dipahami dunia hanya punya umur 14 hari namun hingga duapuluh sekian hari sang punggawa dikabarkan masih terinveksi.

Hari berikutnya, di Jalan Thamrin, sekali lagi si ibu terlihat ngobrol dengan dia yang terindikasi tunawisma.

Perintah keras tiba-tiba datang langsung dari sang punggawa Ibu Kota, "cari tahu siapa gelandangan itu."

Si orang tua, si merasa paling Jakarta dari siapa pun warga Jakarta  berteriak garang "saya lebih dari 80 tahun tinggal di Jakarta, ga ada gelandangan di Thamrin", demikian dia berujar marah.

Pencitraan, sakit jiwa hingga hadirnya aktor berperan sebagai gelandangan langsung disebar para esjewe.

Kepedulian seorang ibu pada sesamanya dilawan dengan cuitan tandingan corong pekaes, kolong jembatan di Surabaya yang tak pernah ibu itu singgahi.

Ternyata, dia yang dicurigai oleh sang punggawa sebagai aktor dan kader partai XYZ, demi drama meraih popularitas si ibu, adalah tunawisma sebenarnya.

Ternyata, kolong jembatan di Surabaya yang dimaksud oleh si pekaes itu sudah dikunjungi Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana yang kini menjabat Plt Wali Kota Surabaya.

Namun, bukan itu poin utama layak dibuat debat. Tak penting apa itu hal baik dan buruk menjadi sarana debat.

Baik adalah ketika sesama sedang sakit dan kita solider dan menjadi bagian dari dirinya. Buruk adalah ketika sesama sedang sakit, kita hanya sibuk berpolemik dengan narasi.

Ibu itu senang  memberi makan mereka yang dijumpainya sedang kelaparan, sementara para pengkritiknya justru sibuk memotret cara si ibu memberi makan. Mereka senang berpolemik dengan hasil potretannya.

Makanan adalah obat manjur bagi perut lapar, sementara, janji adalah cara politikus memberi kenyang hasrat, bukan esensi.

Tetaplah jadi ibu bagi banyak orang daripada borpelemik dengan manusia politik macam itu bu.

Marahlah, ngomellah, kami kangen dengan marah dan omelan seorang ibu. Marahlah demi kami makin baik dan terarah.

Serius, Ibu sangat cocok menjadi Menteri Sosial di mana banyak warga negara ini rindu hadirnya sosok ibu. Sosok yang tak segan ngomel demi peduli dan peluk demi solider.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun