Dalam hal perjodohan, Korea juga tidak jauh berbeda dengan kebanyakan bangsa Asia. Orang tua atau keluarga biasanya menjodohkan anak mereka dengan pasangan dari keluarga yang sudah dikenal atau berstatus. Biasanya keluarga dekat, teman atau tetangga. Bahkan praktek ini masih dominan di masyarakat Korea sampai tahun 1960-an. Kriteria pasangan hidup berbeda-beda sesuai dengan status suatu keluarga. Keluarga kalangan atas akan memilih suami dari keluarga bangsawan dan lulusan universitas bergengsi. Sementara istri berasal dari keluarga baik-baik yang berpotensi menjadi istri dan ibu yang bijaksana. Keluarga kalangan bawah biasanya memilih suami yang sehat fisiknya dan mampu mencari uang, sementara istri adalah seorang yang lembut dan pandai mengatur uang. Pertumbuhan ekonomi Korea yang pesat antara tahun 1960-1980 mengubah paradigma pencarian jodoh ini sehingga menjadikan kekayaan faktor nomor satu dalam mencari suami. Selain itu seorang suami yang ideal juga adalah lulusan universitas bergengsi atau biasanya lulusan SKY University (Seoul National University, Korea University dan Yonsei University) dan punya pekerjaan yang baik atau biasanya karyawan dari chaebol companies (perusahaan konglomerasi seperti Samsung, LG, Hyundai, dll). Sementara itu, mereka yang dari kalangan kebanyakan masih mencari jodoh dari keluarga atau teman dekat. Jika usia mereka sudah dianggap tua dan belum mendapatkan jodoh maka mereka memakai jasa madametou , yaitu wanita tua yang bekerja menjadi mak comblang. Perjodohan Jaman Sekarang
Saat ini meskipun cinta adalah alasan sebagian besar pernikahan di Korea namun bisnis perjodohan ini masih marak. Madametou sudah tidak efektif lagi menjadi jembatan bagi permintaan orang yang semakin meningkat. Untuk itu lahirlah industri perjodohan atau broker. Sekarang, industri ini beromset jutaan dolar dan dioperasikan oleh sekitar 700 perusahaan. Salah satu broker yang paling terkenal yang berdiri tahun 1995 adalah DUO. Apa saja kriteria suami dan istri yang dicari orang lewat broker semacam ini? Meskipun kriteria seorang suami yang ideal masih ditentukan oleh kemampuan ekonominya, dan istri yang ideal dilihat dari penampilan fisiknya, namun kepribadian adalah faktor utama bagi kedua belah pihak. Orang muda jaman sekarang akan mencari pasangan yang memiliki kesamaan karakter dan kepribadian yang menurut mereka akan menjamin kebahagiaan rumah tangga mereka kelak. Selain kepribadian, mereka juga mencari orang yang memiliki kemiripan status dan pendidikan. Pernikahan di Korea masih dianggap sebagai jembatan untuk meningkatkan status sosial. Bagi mereka kesuksesan adalah memiliki rumah yang bagus, mobil mewah, istri yang cantik atau suami yang kaya, sehingga bisa membuat orang lain iri. International Broker
Melihat stereotype masyarakat Korea dalam memilih jodoh serta fokus mereka pada keadaan sosio ekonomi, ada golongan yang tersisihkan. Dan karena wanita akan mencari suami yang memiliki status ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi darinya, golongan ini biasanya tidak memiliki prospek dalam industri perjodohan. Mereka adalah para petani dan nelayan di pedesaan. Orang yang terbuang atau tersisihkan dalam suatu komuniti dikenal dengan istilah wangta. Karena urbanisasi, 80% populasi Korea tinggal di kota. Gelombang besar orang mencari kerja dan belajar di kota serta meninggalkan orang tua mengurus lahan pertanian di desa. Sedangkan budaya Konghucu mewajibkan anak laki-laki tertua tinggal dan merawat orang tua mereka. Mereka adalah korban. Mereka tidak menempuh pendidikan tinggi dan tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan status. Akibatnya mereka pulalah yang kesulitan mencari pasangan. Tidak ada wanita Korea yang mau dijodohkan dari seorang petani miskin, tanpa status dan pendidikan yang tinggal di desa. Untuk itulah lahirlah industri perjodohan lain, yaitu yang bersifat international. Mereka bertugas mencari istri bagi para jomblo desa ini dari negara-negara yang lebih miskin seperti Vietnam, Cambodia, Cina, Mongol, Filipin, Thailand dan Indonesia. Wanita dari negara-negara tersebut tidak memandang status dan pendidikan calon suami mereka. Kebanyakan karena ingin memperbaiki nasib dan keluar dari lingkaran kemiskinan di negaranya. Mereka berharap menikah dengan orang Korea akan membawa mereka ke ekonomi yang lebih baik. Implikasi Negatif
Pemerintah Korea melakukan berbagai upaya untuk mensupport pernikahan campuran ini menjadi keluarga yang berkualitas. Misalnya dengan memberi training kepada para istri, dari pelajaran bahasa dan budaya Korea sampai kursus memasak dan merawat anak. Anak-anak campuran juga diberi bea siswa dan lebih banyak fasilitas. Diskrimnasi di sekolah mulai diperketat. Masyarakat diajar untuk mengenal dan menerima multikulturisme. Dan untuk broker nakal dicabut ijinnya atau bagi yang ilegal ditindak secara hukum. Apakah semua itu sudah cukup? Tentu saja masalah masih terus bergulir, namun semua sudah berjalan di rel yang baik. Di masa mendatang kita berharap Korea akan menjadi negara multikutur dimana setiap individu memiliki hak sama dan diperlakukan setara. ==== Nantikan buku “KOREA” yang ditulis Nancy Dinar dan akan segera diterbitkan GPU. Buku yang menceritakan kehidupan di Korea seperti yang belum pernah Anda dengar sebelumnya. Nancy can be reached in www.nancydinar.com dan www.korsel.com.