Mohon tunggu...
Nanang Rosidi
Nanang Rosidi Mohon Tunggu... -

Pria kelahiran Indramayu 25 tahun silam ini sehari-hari sibuk menulis: menulis karena tuntutan pekerjaan di salah satu kementerian maupun menulis karena hobi. Pernah meng-khilaf-kan sekelompok mahasiswa sehingga terpilih menjadi Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jabodetabek Periode 2014-2016.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Doa dan Ideologi

24 Januari 2017   15:43 Diperbarui: 24 Januari 2017   17:41 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jum’at, 23 Desember 2016, saya menunaikan sholat Jum’at di Masjid Cut Mutia, Jakarta Pusat. Meskipun sebenarnya jarak dari kantor lebih dekat dengan Masjid Istiqlal, tetapi karena sedang mencari suasana baru sekaligus wisata belanja murah maka saya memutuskan Sholat Jum’at di Masjid Cut Mutia. Setiap hari Jum’at, wajah sekitaran masjid ini berubah menjadi pasar. Berbagai macam barang dagangan ada semua: makanan, pakaian, aksesoris, barang elektronik, obat-obatan, dst. Pokoknya lengkap sebagaimana di Pasar Tanah Abang.

Dulu, sebelum Prof. Nasaruddin Umar menjadi Imam Besar, suasana di Masjid Istiqlal juga demikian. Barangkali karena ada ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam agar meninggalkan praktek jual beli ketika masuk waktu sholat Jum’at, maka beliau melarang kegiatan jual beli di dalam komplek Masjid Istiqlal. Karena memang faktanya kegiatan jual beli ini tetap berlangsung bahkan ketika sedang khutbah. Padahal, khutbah sendiri merupakan rukun sholat Jum’at, di mana jika tidak mengikuti khutbah maka Sholat Jum’at tidak sah. Tepatlah keputusan yang diambil oleh Prof. Nasaruddin Umar tersebut.

Jika yang dicari adalah ke-khusyu’-an dalam sholat Jum’at, maka Masjid Istiqlal jawabannya, karena semua jama’ah tertampung di dalam masjid. Sementara, Masjid Cut Mutia daya tampungnya kecil, sementara jumlah jama’ahnya banyak, sehingga mereka sholat di halaman mesjid ditemani pemandangan barang-barang dagangan plus aktivitas dagangnya. Saya sendiri memutuskan sholat Jum’at di situ lebih didasari oleh naluri sebagai makhluk ekonomi ketimbang naluri sebagai makhluk religi.

***

Khutbah Ideologi

Sebagai salah satu rukun sholat Jum’at, maka saya berkewajiban mendengarkan khutbah. Dicermati secara seksama, rupanya sang khotib (pengkhutbah) membahas tentang wajibnya menerapkan syariat Islam di Indonesia. Ia mengatakan bahwa hukum yang ada di Indonesia selama ini adalah warisan Belanda. Dengan kata lain, hukum kita ini adalah produk dari orang-orang kafir.

Mendengar materi khutbah seperti itu, maka saya memperkirakan jangan-jangan sang khotib adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang memang menginginkan berdirinya Khilafah Islamiyah (dengan demikian menentang bentuk negara bangsa/nation state) dan menerapkan syariat Islam. Atau bisa juga, sang khotib adalah kader dari salah satu parpol Islam di Indonesia yang disebut-sebut berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Saat itu juga ingin sekali rasanya saya update status begini: “menjadi khotib tidak cukup hanya modal berani, tetapi juga harus punya ilmu yang mumpuni.” Tetapi saya tidak jadi update status karena khutbah sedang berlangsung. Pada akhirnya saya sama sekali tidak update status tersebut karena keburu hilang mood.

Betapa sering saya mendengar khutbah yang bermuatan politis-ideologis seperti itu. Apalagi sekarang ini menjelang Pilgub Jakarta. Di Masjid Istiqlal pun (sebagai masjid negara yang kabarnya dibiayai oleh APBN) kadang-kadang ada khutbah yang bermuatan politis-ideologis. Sholat Jum’at menjadi ajang untuk menyebarkan ide-ide kelompok tertentu. Dengan demikian isi khutbah tidak lagi universal. Bahkan kadang juga menyerang ke tokoh tertentu.

Rupanya syahwat politik sudah menjadikan pemuka agama gelap mata: tidak mampu lagi membedakan mana panggung politik dan mana mimbar pesan universal. Masalahnya yang menjadikan mereka gelap mata adalah ideologi yang ada di kepala mereka. Mereka berkeyakinan bahwa berislam secara kaffah (menyeluruh) itu artinya formalisasi syariah menjadi hukum negara. Maka menjadi kewajiban mereka untuk menyampaikan ide tersebut di mimbar jum’at.

“Bahasa adalah representasi dari pikiran.” Apapun yang dikatakan oleh seseorang maka itulah gambaran isi pikirannya. Pikiran memang abstrak, tetapi bahasa menurunkannya ke alam kongkrit. Pada akhirnya, siapapun yang berdiri di mimbar jum’at, maka ia akan membahasakan isi pikirannya. Pikirannya diselubungi oleh ideologi. Sehingga, ucapan apapun yang keluar adalah merupakan produk ideologi tertentu. Tetapi kita juga perlu membedakan antara ideologi dalam arti sempit dan umum. Semua pemikiran, ucapan dan tindakan kita memang merupakan penjelmaan dari ide-ide abstrak hasil akumulasi pengalaman bertahun-tahun. Dan itu berarti ideologi secara umum. Tetapi ketika kita mengatakan bahwa untuk mencapai kemakmuran maka hak milik individu harus dihapuskan, itu berarti ideologi dalam arti sempit, atau bisa disebut juga sebagai isme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun