Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Ibu Tidak Berarti Berhenti Belajar

22 Desember 2020   09:28 Diperbarui: 22 Desember 2020   09:30 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak berhenti disitu saja, perjuangan para Ibu kita terdahulu supaya perempuan mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki terwujud dalam Kongres Perempuan Indonesia, yang diadakan tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, termasuk organisasi yang didominasi oleh laki-laki, dan media yang saat itu hadir di Indonesia. 

Salah satu pidato Djami dari organisasi Darmo Laksmi mengucapkan, "selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali pada anaknya".

Dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia tersebut yang dihadiri oleh 600 perempuan seluruh Indonesia, Presiden Soekarno pun meresmikan tanggal 22 Desember menjadi Hari Ibu Nasional, sebagai kelanjutan hari emansipasi wanita tanggal 21 April. 

Kini perempuan sudah menikmati hasil perjuangan para Ibu kita terdahulu, pendidikan perempuan kini bisa diraih setinggi mungkin setara dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan adanya data kelulusan yang dimiliki oleh Pendidikan Tinggi (Dikti), perempuan yang lulus menjadi 55,50 persen dari 100 persen kelulusan, dan untuk yang kuliah, jumlah perempuan yang lulus sebanyak 60 persen. Jauh lebih tinggi presentasenya dibandingkan jumlah laki-laki.

Tapi apakah ketika perempuan sudah mengenyam pendidikan, lantas setelah berumah tangga berhenti belajar?

Berdasarkan pengalaman mengajar anak-anak, saya bertemu dengan beberapa tipe Ibu. Dan ternyata hal tersebut sangat mempengaruhi sikap, pola pikir dan karakter sang anak. 

Ada beberapa tipe anak yang sikapnya sangat saya kagumi, dari kedisiplinan, kemandirian, bahkan ada anak SD yang sudah bisa diajak ngobrol seperti teman diskusi. Saking penasarannya, terkadang saya mengobrol dengan para Ibunya bagaimana bisa mereka mendidik anak-anaknya seperti itu, terutama anak SD yang bisa mengobrol dengan leluasa tentang isu terkini. 

Dari obrolan tersebut, saya diam-diam mencatat dalam hati sebagai bekal untuk saya punya anak nanti. 

Para Ibu tersebut terus meng-update wawasannya dengan membaca buku yang berisi tentang motivasi diri ataupun yang berhubungan dengan dunia pekerjaan dan pendidikan, kemudian mempelajari teknologi terbaru, supaya bisa menilai dampak positif dan negatifnya untuk anak bagaimana, update-an berita nasional dan internasional juga diikuti perkembangannya. 

Para Ibu tersebut mengatakan teknologi semakin canggih, arus informasi semakin deras, mereka harus bisa memilah-milah mana yang baik dan buruk untuk dirinya dan anak-anaknya. Dengan begitu mereka bisa menjadi teman dan membimbing anak-anaknya dalam memilih informasi dan tayangan yang anak-anak dapatkan dari sosial media ataupun internet. 

Mereka menyadari tidak mungkin mereka bisa terus mengontrol anak-anak dalam menggunakan teknologi. Apalagi sekarang zamannya teknologi, teman-teman di sekolah pun bisa jadi sudah memiliki gadget. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun