Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembatasan Akses Media Sosial, Salahkah Pemerintah?

14 Juni 2019   00:27 Diperbarui: 14 Juni 2019   00:37 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aplikasi media sosial (Sumber : Hipwee.com)

Tanggal 22 Mei sampai 24 Mei 2019 lalu, akses media sosial dibatasi begitu saja oleh Pemerintah. Pemerintah ini sungguh kejam dan sangat tidak mempedulikan masyarakat, akibatnya aktivitas banyak terhambat karena media sosial yang dibatasi. Itu menurut pengguna aktif media sosial.

Tapi tenang, dilansir oleh Kompas.com, Wiranto menyatakan bahwa akses media sosial tidak akan dibatasi jika situasinya kondusif.  Beliau menghimbau agar masyarakat ikut bekerja sama untuk tidak menyebarkan berita hoaks. Beliau atas nama Pemerintah juga meminta maaf telah membuat masyarakat tidak nyaman karena pembatasan hal tersebut.

Tiba-tiba saya terpikir, apakah yang dilakukan ini Pemerintah saat itu salah atau sudah kewajibannya untuk melindungi warga Indonesia dari dampak yang jauh lebih merugikan, seperti terancamnya nyawa dan keamanan negara. Mari kita pikirkan bersama lebih jauh lagi.

Demonstrasi Mei 2019 (Sumber : Sinarharapan.id)
Demonstrasi Mei 2019 (Sumber : Sinarharapan.id)

Para demonstran yang telah dibayar datang membuat ricuh di kawasan Tanah Abang, sampai ke Slipi. Aksi bakar mobil warga juga dilakukan saat tengah malam. Itu baru mobil yang dibakar. Bahkan 2 pemilik warung, sampai dijarah barang dagangannya oleh para demonstran yang tidak bertanggung jawab.


Bom molotov dan batu dilempar seenak udelnya ke arah Polri dan mungkin bisa saja terkena sekitarnya, karena disana juga ada banyak wartawan yang bertugas mengambil momen aksi demonstrasi yang menegangkan. Ketika Polri memberikan tindakan tegas dengan menyemprotkan gas air mata agar tidak semakin anarkis, dengan enaknya mereka langsung berteriak Polri tidak adil, Polri kejam. Kemudian, menghasut warga sekitar untuk ikut melemparkan bom dan batu dengan membawa-bawa agama.

Korban banyak berjatuhan, ada yang meninggal dan ada juga yang terluka parah. Mereka sama sekali tidak memikirkan akibat untuk diri mereka sendiri.

Selama masa demonstrasi berlangsung, saya dan keluarga, beserta teman-teman, termasuk mungkin Anda semua yang membaca artikel ini tentu tegang dan khawatir, apalagi kalau sampai kericuhan pada Mei 1998 terjadi kembali. Kita pasti saling bertukar informasi melalui media sosial, menonton berita dan membaca website berita untuk mengetahui perkembangan aksi demonstrasi.

ilustrasi hoaks (Sumber : Kominfo.go.id)
ilustrasi hoaks (Sumber : Kominfo.go.id)
Ketika bertukar informasi, ternyata ada yang memanfaatkan dengan pemberitaan hoaks, yang membuat banyak orang salah paham atau mungkin semakin ketakutan. Ada 30 berita hoaks yang ternyata sudah beredar di masyarakat.

Belum lagi, ternyata para aksi demonstran juga mendapatkan instruksi melalui Whatsapp.

Anda bisa bayangkan bagaimana kalau media sosial tidak segera dibatasi, dan diizinkan nyelos begitu saja? 

Bagi Anda yang berteriak kesulitan mengakses media sosial, mungkin Anda belum pernah merasakan kerusuhan Mei 1998 atau mungkin tidak mendapatkan berita hoaks secara langsung.

Saya pribadi mendapatkan berita hoaks, dan sempat was-was, karena saya mendapatkan video bahwa para aksi demonstran mengatakan bahwa ada temannya yang ditembak mati oleh polisi Cina, mereka mengajak orang-orang yang ada disekitarnya untuk segera menghabisi orang Cina, yang kemudian diakhiri dengan kata "Allahuakbar".

Kemudian, ada hoaks Brimob membunuh anak usia 18 tahun, bisa Anda bayangkan bila hoaks ini semakin tersebar pada seluruh pendukung nomor 2, sudah seperti menambah minyak pada api, yang mungkin  pendukung nomor 2 tadinya tenang, bisa langsung emosi dan ikut berdemonstrasi, karena Brimob dianggap sudah melanggar HAM. Padahal faktanya, Brimob menangkap perusuh yang bernama Andi Bibir berusia 30 tahun.

Ada lagi hoaks yang menyebut bahwa people power terjadi di Medan. Apabila ini juga tersebar, sangat memungkinkan orang yang membaca dan mendengarnya bisa ikut emosi dan ikut melakukan people power di sejumlah daerah. Padahal ini hanyalah hoaks saja, bukan berita benar. Nyatanya di Medan, aman sentosa.

Dampak massa yang hadir secara psikologis, menurut Gustave Le Bon, massa dapat bertindak secara primitif dan tidak rasional karena individu menjadi bagian dari massa dan dipengaruhi sikap serta tindakan karena adanya massa yang hadir. Massa, ketika berkumpul dalam suatu kondisi, memiliki kesadaran diri yang rendah, dan tidak dapat bergerak secara terorganisir, biasanya ada "dalang" dibelakang mereka yang bertugas memanipulasi massa. 

Bila hoaks-hoaks ini tersebar melalui media sosial, karena saking khawatirnya kita, dan tidak memeriksa kembali kebenaran berita, kemudian ikut menyebarnya, maka kita yang tadinya masih dalam tahap kondisi harap harap cemas, menjadi masuk dalam tahap perang saudara. Dan peristiwa Mei 1998 bisa jadi akan terjadi kembali, sekedar mengingatkan saja, akan terjadi penjarahan massal. PHK besar-besaran, perekonomian lumpuh, banyak pengangguran, banyak korban jiwa yang melayang, bahkan banyak perempuan yang berkulit putih, entah itu keturunan Tionghoa ataupun asli, yang diperkosa. Jangan sampai hal ini terjadi kembali.

Marilah kita berpartisipasi sedikit dalam tindakan pemerintah yang melindungi masyarakat dan negara. Pahami dan pikirkan lebih jauh untuk kondisi negara kita ke depannya, bila Pemerintah mengambil tindakan. Jangan semua tindakan yang diambil pemerintah, dianggap selalu merugikan. Toh, bukan pemerintah yang menyuruh para penunggang aksi damai untuk berdemo dan menyebarkan hoaks yang meresahkan masyarakat. 

Apabila tidak bisa terhubung dalam media sosial, kita masih bisa saling menginformasikan melalui telepon biasa, yang memakai pulsa.  Sebelum ada internet dan media sosial, kita memakai telepon biasa dan sms kan untuk berkomunikasi. 

Transaksi memang tertunda, saya sendiri juga melihat sudah berapa kerugian yang dialami perusahaan saya karena tidak bisa beraktivitas hampir seminggu, kerugian tersebut sebenarnya sangat berdampak pada pendapatan para karyawan. Tidak mungkin juga, kami paksa atasan kami untuk tetap beraktivitas disaat situasi sedang genting seperti kemarin. Istilahnya kami mendapatkan uang, tapi nyawa dan pekerjaan bisa melayang, karena bisa jadi kan produk-produk dan alat perusahaan digotong oleh orang-orang yang memanfaatkan situasi. Kalau seperti itu, ujungnya bukannya kami semua di PHK?

Mari kita pikirkan matang-matang dan lebih jauh lagi kondisi yang terjadi bila media sosial tidak segera dibatasi aksesnya saat itu. Dan pikirkanlah juga dari semua sudut yang ada, sebelum menyalahkan kebijakan pemerintah. 

Salam persatuan.

Referensi

https://nasional.kompas.com/read/2019/06/13/19031891/wiranto-kalau-tak-ada-kegiatan-ekstrem-di-medsos-tak-ada-pembatasan

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/25/18132981/kominfo-sebut-ada-30-berita-hoaks-selama-kerusuhan-22-mei

https://www.kominfo.go.id/content/detail/18936/hoaks-brimob-bunuh-anak-18-tahun/0/laporan_isu_hoaks 

https://www.kominfo.go.id/content/detail/18926/hoaks-demo-people-power-di-medan/0/laporan_isu_hoaks

https://pijarpsikologi.org/kenali-lebih-mendalam-tentang-massa/ 

https://www.kompasiana.com/novi_suprapti/5500346b8133112019fa71db/perbedaan-publik-massa-kerumunan-kelompok-dan-organisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun