Mohon tunggu...
Bustami Bin Arbi
Bustami Bin Arbi Mohon Tunggu... Insinyur - Aceh, Indonesia

| Minat sastra dan budaya |

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Senin Sore di Gunongan

12 Mei 2011   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:48 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langit Banda Aceh hari itu tampak mendung. Awan hitam yang menghiasi angkasa seakan hendak menegaskan bahwa tak lama lagi hujan segera tumpah ke bumi. Kendati demikian, seperti biasanya, lalu lalang jalanan tetap tak membuat untuk lengang. Apalagi di sore hari, warga kota kerap menghabiskan waktu ke tempat-tempat kesukaan untuk bersantai sejenak bersama keluarga atau kerabat usai bekerja seharian. 806 tahun, itulah angka usia Kota Banda Aceh tahun ini. Kota yang dulunya dikenal dengan Kuta Raja itu tentunya memiliki banyak peninggalan dan catatan sejarah. Salah satunya adalah Gunongan. Saat ini, Gunongan memang tidak seterkenal Tugu Monas. Tapi tahukah kita, ternyata Gunongan adalah salah satu karya arsitektur hebat yang pernah ada. Gunongan ini dibangun pada abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Iya, Sultan Aceh inilah yang membawa Kerajaan Aceh masa itu mencapai puncak keemasannya. Masa itu, Aceh menjadi kerajaan hebat lima besar di dunia. Gunongan itu sendiri tidaklah muncul dengan serta merta. Bangunan yang bersegi enam, berbentuk seperti bunga dan bertingkat tiga dengan tingkat utamanya sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak itu dibangun oleh Sultan Iskandar Muda untuk membahagiakan permaisurinya Putroe Phang. Lalu siapakah Putroe Phang ini?. Ia adalah perempuan cantik dari Pahang yang sekarang masuk dalam wilayah Malaysia. Mengingat sang permaisuri sering teringat akan kampung halamannya, maka sebagai wujud rasa cintanya itu Sultan membangun Gunongan. Walaupun tidak sama persis, tetapi bentuknya dianggap sebagai miniatur bukit yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang itu bisa menjadi obat penawar rindu sang permaisuri. Tempat inilah ia sering menghabiskan waktunya bersama dayang-dayang istana. Beranjak dari buku-buku sejarah Aceh dan cerita-cerita lisan orang-orang tua itulah, maka sore senin 9 Mei lalu saya berkunjung kesana. Melewati jalan depan Pendopo Gubernur, saya dan saudara lelaki mengarahkan kereta (sebutan untuk sepeda motor) menuju ke jalan Teuku Umar. Lokasi ini tak terlalu jauh Mesjid Raya Baiturrahman. Saat itu, jam di HP saya menunjukkan pukul lima lewat dan sudah tepat berdiri di pintu gerbang lokasi Gunongan. Ada keraguan menyelinap. Memilih masuk kedalam atau lain waktu berkunjung lagi. Ini mengingat jam berkunjung sepertinya sudah tak cocok. Akhirnya Adik saya menguatkan hati untuk masuk. Ternyata dugaan saya bahwa tak ada lagi orang di dalam tidak tepat. Ketika memarkir kereta, dari kejauhan seorang lelaki yang taksiran saya umurnya tujuh puluhan tahun menyambut ramah. Tanpa menunggu aba-aba, kami pun langsung melangkah ke bangunan yang berdiri kokoh berwana putih itu. Usai kami berkeliling sejenak, lelaki hitam manis yang rambutnya mulai beruban itu menghampiri kami. Tampak ia membawakan sebuah buku dan beberapa kunci ditangannya. Kini, tepat berdiri di depan Gunongan. Ia menjelaskan panjang lebar tentang kisah Gunongan dan Kandang (makam Sultan Iskandar Tsani) yang ada dalam areal tersebut. Lelaki yang mengaku bangga sebagai mantan Tentara dan sudah menjadi penjaga tempat tersebut selama dua puluh tahun itu juga menceritakan tentang kisah putra Iskandar Muda yang dihukum karena tuduhan berzina yang makamnya terdapat di areal kuburan Belanda, tak jauh dari Gunongan. Ketika lelaki dengan setelan kemeja dan celana hitam itu bercerita, kita sekan-akan dibawa ke zaman masa kerajaan tempo dulu. Perasaan senang pun segera datang saat ia menggunakan kunci yang ada ditangannya untuk membuka pintu Gunongan. Pintu masuk tersebut berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci karena pernah dimanfaatkan oleh manusia-manusia jahil sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu pada malam hari. "Silahkan masuk kalau mau melihat-lihat bagian dalamnya", demikian katanya. Tanpa menunggu waktu lama, kami langsung menyerbu ke dalam. Wow, luar biasa. Sungguh menakjubkan. Saya merasakan bagaimana kehebatan di masa lalu. Saya melihat ke berbagai sudut dengan arsitektur yang hebat. Tempatnya kecil dan terkesan agak tertutup kalau dilihat dari luar, tetapi didalamnya tetap terang. Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga Gunongan. Sialnya, saat kamera saya gunakan langsung macet, padahal sebelumnya bekerja dengan baik. Memory card error, itu yang terbaca pada kamera. Kecewa karena momen tersebut tak sempat saya abadikan, dan parahnya lagi banyak foto-foto lain yang ikut hilang. Tak lama kami disana, hanya sekitar tiga puluh menit. Tapi sepertinya cukup memberikan pemahaman dan mencintai sejarah bangsa. Apalagi kita tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk masuk kesana, cukup memberikan uang seikhlasnya untuk biaya pemeliharaan saja. Pak Yahya, panggilan untuk sang penjaga itu. Ia sangat mengharapkan anak-anak muda untuk berkunjung kesana dan tempat bersejarah lainnya supaya tak lupa akan sejarah. Di akhir kunjungan, si bapak mengatakan bahwa  Orang-Orang dari Malaysia juga sering berkunjung ke tempat itu dan biasanya mereka datang ramai-ramai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun