Mohon tunggu...
Nur Mila Isnaini
Nur Mila Isnaini Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Manejemen dan Karyawan swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemirisan di Balik Cuplikan Video dalam Tagar Kristenisasi

12 Juni 2020   16:33 Diperbarui: 12 Juni 2020   16:31 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berangkat dari pengalamanku usai menyaksikan video pendek yang tersebar di twitter hari kamis lalu dalam tagar kristenisasi. Dalam cuplikan video tersebut menampilkan seorang ustadz yang sedang berkhutbah didepan para jamaahnya di salah satu stasiun TV.

Setelah melihat cuplikan video tersebut, aku mencoba mencari video versi lengkapnya di channel youtube stasiun TV pemilik acaranya. Tujuanku melakukan itu untuk memastikan bahwa videonya bukan hasil editan. Setelah beberapa saat, aku berhasil menemukan video aslinya yang berdurasi lebih dari 2  jam. Ada dalam durasi ke 1 jam 25 menitlah video yg ramai tersebar dalam twitter saat itu.

Ada yang menarik dalam video tersebut, aku memaknai itu sebuah kelucuan sekaligus kemirisan. Beginilah kurang lebih isi dari videonya. Bermula dari ustadz membacakan pertanyaan dari jamaahnya "apakah jika kita mengikuti sistem demokrasi dalam bernegara merusak ketauhidan?". "Jelas", begitu jawaban si ustadz, kemudian berlanjut menjelaskan mengenai sistem sekuler hingga merambat kepada lagu anak-anak "balonku ada lima" dan "naik-naik ke puncak gunung" itu mengajarkan anak untuk benci islam dan membenarkan ajaran nasrani.

Sontak saya tertawa miris mendengar ungkapan itu dari seorang public figur, dimana pendapatnya akan dikonsumsi oleh banyak orang (jamaah) dan cenderung dibenarkan oleh mereka. 

Jika dipikirkan ulang sebenarnya antara 2 lagu tersebut tidak ada korelasinya dengan upaya membuat anak benci islam dan membenarkan ajaran nasrani. Mengapa demikian? 

Saya sendiri sebagai anak yang sejak kecil menyanyi lagu tersebut, saat ini masih mencintai agama islam itu sendiri. Bahkan pesan bahwa lagu yang menurut beliau mengajarkan benci islam pun sama sekali tidak tertancap dan bahkan tak mampu dimengerti.

Kemudian coba kita lihat kelemahan kesimpulan. Bagaimana bisa, warna sebuah benda seenaknya disamakan dengan agama? Warna balon hijau sama dengan agama islam. Warna dan Agama tidak saling berkaitan, mereka realitas yang berbeda, bahkan jauh. Kemudian karna yg meletus balon hijau dan bikin kacau, beliau simpulkan bahwa islam bikin kacau. Jika dari awal premisnya sudah keliru (balon hijau sama dengan agama islam), maka kesimpulan pun akan ikut keliru.

Berlanjut soal lirik yang berbunyi "naik-naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja...". Hal ini dengan mudah dihubungkan seperti cara beribadah orang nasrani yang sehabis menyentuh kepala kemudian lengan kiri dan kanan. 

Jika lirik lagu yang hanya sebatas rangkaian huruf saja bisa diabstraksikan dan disimpulkan sedemikian rupa, bagaimana dengan tiang jemuran yang realitasnya  menyerupai salib?? Bagaimana dengan orang yang sedang bersiap untuk senam dengan merentangkan tangan ke arah samping kanan dan kiri sehingga jika dilihat bayangannya seperti salib?? Apakah lantas bisa semudah itu dihubungkan dengan agama tertentu?
Ayolah, indonesia butuh diedukasi bukan dijejali dengan lelucon logic fallacy seperti ini.

Bayangkan jika banyak public figur yang berlaku demikian dan basic masyarakatnya juga menelan mentah-mentah saja ketika diberi informasi, terlepas itu benar atau tidak. Dan pada akhirnya bukan critical tingking yang berkembang tapi malah cocokologi yang semakin bersemi.

Lalu apa yang kita bisa ? Mulai dari diri sendiri, itu jawabannya.  Membiasakan berpikir kritis terhadap informasi dan mencoba mengajak orang lain dalam hal itu sebisa mungkin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun