Teori ini berpendapat bahwa Bernburg (2019) mengatakan setelah seseorang diberi label atau diidentifikasi sebagai “menyimpang” mereka seringkali menghadapi kendala baru akibat reaksi dari diri mereka sendiri dan orang lain terhadap stereotip negatif (stigma) yang ikut serta dengan label tersebut. Kendala ini pada akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan perilaku menyimpang menjadi lebih tetap dan kronis. Di dunia pendidkan, dampak pelabelan sangat terlihat melalui perbedaan perlakuan dan hasil belajar siswa. label positif seperti “cerdas” bisa mendorong siswa untuk berprilaku sesuai dengan harapan tersebut, sedangkan label negatif seperti “bodoh” sering membuat siswa tampil di bawah potensi mereka, baik secara sosial maupun akademis. Pelabelan menjadi topik yang banyak dibahas dan diteliti dalam bidang Pendidikan karena pengaruhnya yang besar terhadap prestasi belajar siswa.
Proses identifikasi dan pelabelan di sekolah memainkan peran penting dalam menentukan sejauh mana siswa berkembang dan meraih keberhasilan akademik. Contohnya, guru dan pihak sekolah sebagai “pemberi label” memiliki kekuasaan untuk memberikan penilaian atau pengakuan tertentu yang dapat berdampak besar, baik positif maupun negatif, terhadap masa depan siswa (Ridwan Said Ahmad et al., 2023. p. 315). Adapun dampak Pelabelan terhadap persepsi interpersonal dan hubungan sosial individu, terutama di lingkungan sekolah. Sawitri et al (2025) Stigma, label menyimpang, khususnya lebih kriminal, dikaitkan dengan stigma, di mana budaya arus utama melekatkan citra atau stereotip negatif tertentu pada label tersebut. Individu yang diberi label cenderung dipandang berbeda dari orang lain dan diasosiasikan dengan stereotip karakteristik yang tidak diinginkan.
Secara keseluruhan, pelabelan sosial berdampak signifikan pada konsep diri dan persepsi interpersonal siswa di lingkungan. Label negatif dapat menurunkan harga diri dan motivasi belajar, sementara label positif dapat mendorong kinerja, proses ini juga membentuk interaksi sosial dan dapat menyebabkan stigmatisasi. Dan dari perspektif psikologi komunikasi, proses pelabelan ini sangat relevan karena melibatkan interaksi verbal dan non-verbal yang membentuk identitas dan persepsi. Guru yang memberikan julukan secara tidak langsung berkomunikasi harapan dan penilaian, yang kemudian diinternalisasi oleh siswa dan memengaruhi bagaimana siswa tersebut berinteraksi dan dipersepsikan oleh orang lain.
PEMBAHASAN
Labeling sosial merupakan bagian dari proses komunikasi interpersonal yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan psikologis individu, khususnya konsep diri dan persepsi interpersonal yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan psikologis individu, khusunya konsep diri dan persepsi interpersonal siswa di lingkungan Pendidikan. Dijelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi simbolik, yakni bagaimana individu menafsirkan pesan-pesan yang diterima dari lingkungannya, termasuk penilaian atau label yang diberikan orang lain (Jalaludin, 2007, p.100-104).
Temuan dari studi mengenai “pengaruh pelabelan terhadap motivasi belajar siswa” secara jelas mendukung atau memberikan bukti empiris untuk prinsip-prinsip utama dari teori pelabelan yang diungkapkan oleh benburg. Teori pelabelan berargumen bahwa perilaku yang menyimpang bisa diperkuat atau dipertahankan setelah seseorang diberikan label atau diidentifikasi sebagai penyimpang, yang kemudian menimbulkan masalah baru akibat reaksi diri dan orang lain terhadap stigma negatif yang terkait dengan label tersebut. (Bernburg, 2019, p.1). Dalam ranah Pendidikan, menunjukan bahwa pemberian label atau julukan oleh guru, baik positif maupun negatif, secara langsung berpengaruh pada pembentukan konsep diri dan motivasi belajar siswa. hal ini sejalan dengan berpendapat Bernburg yang menyatakan bahwa pelabelan tidak resmi, termasuk oleh guru dan anggota komunitas, dapat memicu reaksi pemabatasan dan berimbas konsep diri anak-anak dan remaja.
Ketika guru terus-menerus menggunakan istilah negatif, siswa sering kali mulai menyerap label tersebut, mengembangkan keyakinan bahwa mereka memang “malas” atau “bodoh” (Ridwan Said Ahmad et al., 2023, p. 2) Proses internalisasi ini dapat menghasilkan perubahan dalam cara individu melihat diri mereka, di mana mereka mulai menganggap diri sebagai “penyimpang” atau sesuai dengan label yang diberikan. Sebaliknya, label yang positif dapat meningkatkan pandangan diri yang lebih baik, memotivasi siswa untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan bakat mereka. Praktik pelabelan ini tidak hanya terjadi melalui pernyataan yang jelas, tetapi juga bisa ditunjukan melalui sinyal non-verbal, seperti intonasi suara, ekspresi wajah, atau Bahasa tubuh guru saat berinteraksi dengan siswa ang diberi label, yang dapat memperkuat pesan yang diucapkan dan secara tidak langsung menyampaikan harapan serta penilaian, yang selanjutnya memengaruhi cara pandang siswa tentang diri mereka.
Dalam studi komunikasi, terutama komunikasi antarpribadi, pelabelan sosial merupakan bagian dari proses komunikasi yang dapat sangat memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri dan bagaimana orang lain memandangnya. Label ini sering klai muncul dari penilaian terhadap perilaku atau identitas seseorang, dan biasannya bersifat terlalu sederhana atau stereotip. Dalam dunia Pendidikan hal ini tampak misalnya saat guru memberi cap kepada siswa seperti “nakal”, “bodoh”, atau “pemalas” Didik Hariyanto, (2021) menyatakan bahwa pelabelan semacam ini berdampak besar pada pembentukan rasa percaya diri atau bahkan rasa tidak mampu pada siswa. label negatif dari guru atau lingkungan sekolah bisa menurunkan semangat belajar, membentuk citra diri yang buruk dan menghambat perkembangan potensi siswa.
(Sarmiati, 2019) menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk dari interaksi sosial yang kuat, termasuk bagaimana orang lain melihat kita. Jika seseorang terus-menerus mendapat penilaian negatif, lama kelamaan ia bisa memandang dirinya secara negatif juga. Hal ini bisa menurunkan rasa percaya diri, semangat belajar, dan kemampuan bergaul dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk berkomunikasi dengan cara yang mendukung dan tidak menghakimi, agar siswa bisa membentuk konsep diri positif dan menjalin hubungan yang sehat di lingkungan belajar.
Latar belakang turut memengaruhi bagaimana siswa yang mendapat label negatif menjalin hubungan dengan teman sebaya maupun guru. Siswa yang berasal dari keluarga yang berfungsi dengan baik biasanyya memiliki konsep diri yang lebih positif dan merasa kebutuhan emosional, psikologis, sosial, spiritual, dan moralnya terpenuhi, sehingga mereka lebih mampu menghadapi pelabelan. Sebaliknya, siswa dari keluarga yang kurang harmonis atau disfungsional cenderung mengalami kekurangan dukungan, terutama secara emosional dan psikologis, yang bisa membuat mereka kesulitan dalam berkomunikasi dan menangani dampak labeling. Dengan kata lain, dukungan dari keluarga dapat membantu mengurangi dampak negatif pelabelan terhadap hubungan sosial siswa. Conejar et al (2016).
Scimecca (1977) menyatakan bahwa penting bagi lingkungan kelas untuk menghargai perbedaan dan menghindari praktik stigmatisasi antar siswa. guru memiliki peran penting dalam mencegah penolakan sosial, misalnya dengan memediasi konflik dan mengajarkan empatik. Pendidik juga perlu menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi, baik secara verbal mauoun non-verbal, bisa berdampak besar pada kondisi mental siswa. oleh karena itu pelatihan tentang cara menyampaikan kritik secara tepat sangat penting, agar guru tidak secara sengaja memberi label yang
merugikan siswa. melalui komunikasi yang menduku, guru dapat membantu siswa membangun pandangan positif tentang diri mereka sendiri, meskipun mereka sedang menghadapi kesulitan. Dengan begitu, siswa tidak akan mudah terpengruh oleh label negative dan bisa mengembangkan konsep diri yang kuat dan Tangguh.
Untuk mengurangi dampak buruk dari pelabelan dan mendorong terebentuknya konsep diri yang positif serta hubungan sosial yang sehat di sekolah, diperlukan strategi komunikasi yang efektif. guru sebaiknya fokus pada komunikasi yang membangun dan menghindari memberi label negatif secara permanen pada siswa. misalnya, daripada mengatakan “kamu malas”, lebih baik menggunakan kalimat seperti “saya lihat kamu belum menyelesaikan tugas ini”. (Ridwan Said Ahmad et al., 2023, p. 314 ). Selain itu penggunaan label positif seperti “pintar” atau “rajin” juga bisa menjadi dorongan bagi siswa. dengan memberi pujian yang tulus dan spesifik, guru dapat membantu siswa membentuk pandangan positif tentang diri mereka sendiri.
Widiatmika, (2015) menyatakan bahwa dalam psikologi komunikasi, pelabelan juga memengaruhi cara siswa memandang orang lain, karena mereka cenderung menilai berdasarkan stereotip yang muncul dari label sosial yang ada. Cara siswa merespons pelabelan sangat bergantung pada pandangan dan sikap pribadi masing- masing. Ada siswa yang mungkin bersikap pasif terhadap orang yang memberi label, sementara ada juga yang mampu mengubah pengalaman negatif tersebut menjadi motivasi untuk berkembang. Hal ini menunjukan bahwa reaksi siswa terhadap labeling bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana mereka memilih merespons stigma tersebut dalam komunikasi interpersonal.
Pembahasan ini menunjukan bahwa pelabelan memiliki pengaruh besar terhadap komunikasi antarpribadi siswa, terutama terkait dengan rasa percaya diri dan hubungan mereka dengan orang yang memberi label. Meski begitu, dukungan dari keluarga serta pandangan pribadi siswa sendiri membantu mereka dalam menghadapi dan mengatasi dampak pelabelan. Dengan menggunakan strategi komunikasi yang lebih bijak dan positif, guru dapat mengurangi dampak negatif dari pelabelan sosial dan membantu menciptakan lingkungan belajar yang mendorong perkembangan konsep diri yang sehat serta hubungan sosial yang baik bagi semua siswa.
KESIMPULAN
Pelabelan sosial, baik secara verbal maupun non-verbal oleh guru, berpengaruh besar terhadap pembentukan konsep diri dan persepsi interpersonal siswa di sekolah, hasil utama menunjukan bahwa label yang diberikan guru baik positif maupun negative secara langsung memengaruhi cara siswa memandang diri mereka. Melalui pesan komunikasi yang konsisten, baik dalam ucapan maupun sikap, guru membantu membentuk motivasi dan perilaku siswa sesuai dengan label yang diberikan.
Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk menerapkan strategi komunikasi yang lebih sadar dan membangun. Guru sebaiknya memberikan umpan balik yang fokus pada perilaku tertentu, bukan melabeli kepribadian siswa. penguatan positif juga perlu digunakan secara tepat, sambil menciptakan suasana kelas yang inklusif dan mendukung. Selain itu, pendidk perlu menyadari bahwa setiap bentuk komunikasi yang mereka sampaikan berdampak jangka Panjang. Dengan pendekatan ini lingkungan belajar akan lebih mendukung perkembangan konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang sehat bagi semua siswa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bernburg, J. G. (2019). Labeling Theory. Handbooks of Sociology and Social Research, October, 179–196. https://doi.org/10.1007/978-3-030-20779-3_10
2. Conejar, B. J. P., Endoma, C. F. E., Lagarto, S. D. R., & Layog, J. M. L. (2016). Labeling and Interpersonal Relationship of Negatively-Labeled Students in Physics. International Journal of Disaster Recovery and Business Continuity, 7, 27–42. https://doi.org/10.14257/ijdrbc.2016.7.03
3. DidikHariyanto. (2021). Buku Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi Penulis : Didik Hariyanto Diterbitkan oleh Jl . Mojopahit 666 B Sidoarjo ISBN : 978-623- 6081-32-7 Copyright © 2021 . Authors All rights reserved. In Pengantar Ilmu Komunikasi.
4. Jalaludin, R. (2007). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi.
5. Ridwan Said Ahmad, M., Syukur, M., Nisa, K., Putra Satria Mu’min, M., &
Fadhilah Kadir, N. (2023). Dampak Pelabelan Terhadap Motivasi Belajar Siswa. COMSERVA : Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 3(1), 313–318. https://doi.org/10.59141/comserva.v3i1.756
6. Sarmiati, E. R. R. (2019). Komunikasi Interpersonal Elva Ronaning Roem Sarmiati Cv . Irdh. In Irdhcenter. www.irdhcenter.com
7. Sawitri, N., Kusmawati, A., & Jakarta, U. M. (2025). Pembentukan Konsep Diri dan Tindakan Labeling pada Remaja. 3.
8. Scimecca, J. A. (1977). Labeling Theory and Personal Construct Theory: Toward the Measurement of Individual Variation. The Journal of Criminal Law and Criminology (1973-), 68(4), 652. https://doi.org/10.2307/1142426
9. Shintaviana, F. V., & Yudarwati, A. (2014). Konsep Diri serta Faktor-Faktor Pembentuk Konsep Diri Berdasarkan Teori Interaksionisme Simbolik. Universitas Atma Jaya, 4(sosial), 1–15. http://e- journal.uajy.ac.id/5781/1/jurnal.pdf
10. Widiatmika, K. P. (2015). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者にお ける 健康関連指標に関する共分散構造分析Title. Etika Jurnalisme Pada Koran Kuning : Sebuah Studi Mengenai Koran Lampu Hijau, 16(2), 39–55.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI