Mohon tunggu...
Najmuddin Tamin
Najmuddin Tamin Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Badan Pusat Statistik sebagai statistisi

PNS di Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Badan Pusat Statistik Mengukur Kemiskinan

22 Januari 2018   16:43 Diperbarui: 22 Januari 2018   16:53 2509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kemiskinan adalah persoalan mendasar dan tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. kenapa demikian? Ini karena kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks dan multidimensi. Sudah begitu banyak kebijkan yang dikeluarkan pemerintah untuk menjaga jumlahnya agar tidak semakin membuncit dan berlangsung terus-menerus. 

Baik itu dengan menjaga daya belinya terhadap barang-barang yang biasa dikonsumsinya agar tidak menurun ,menjaga aksesnya terhadap fasilitas kesehatan dan menjamin kualitas generasi mudanya dengan menjamin aksesnya terhadap fasilitas pendidikan.  Oleh karena itu, kemiskinan sangat layak untuk diketahui dan senantiasa dipantau. 

Kemiskinan tidak bisa diukur hanya dengan padangan mata saja (eye estimate)karena sifatnya sangat subjektif. kalau mau dibilang tergantung siapa yang memandang. sehingga ini metode ini sangat riskan untuk disalahgunakan. Pembenarannya hanya ada pada subjek pengamatnya saja. pertanyaannya adalah apakah para akademisi, politisi, ekonom dan masyarakat itu sepakat dengan dugaan kita atau opini kita mengenai kemiskinan yang kita definisikan sendiri berdasarkan metode pandangan mata saja? Apakah hasilnya bisa digunakan untuk mengeneralisasi kemiskinan yang terjadi sama di setiap wilayah. 

Secara logika sederhanapun kita akan menjawab tidak. Mengapa demikian? Saya berikan contoh penduduk miskin di kota besar/kota metropolitan tidak sama karateristiknya dengan penduduk miskin yang berada di pedesaan. Penanggulan kemiskinan tidak akan berhasil atau sia-sia jika kebijakan yang diambil tidak disesuai dengan karateristikk kemiskinan ini. Pemberian bantuan alat pertanian, pupuk, lahan dan bibit tanaman kepada rumahtangga miskin di pedesaan mungkin saja menjadi kebijakan yang tepat untuk membantu mereduksi kemiskinan di pedesaan. 

Akan tetapi, apakah hal ini bisa diterapkan di daerah perkotaan sebagai instrumen pengurang angka kemiskinan di wilayah perkotaan. Tentu saja jawabannya ini kebijakan yang kurang tepat. Makanya menentukan kategori seseorang apakah miskin, hampir miskin atau tidak miskin.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu alat ukur yang bisa dijadikan pegangan kita agar tidak subjektif , bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan lebih objektif dalam hal menggolongkan penduduk menjadi  penduduk miskin atau tidak. Tapi perlu diingat namanya metodologi hanyalah sebuah pendekatan hasil kerja ilmiah yang tentu saja tidak lepas dari kesalahan. baik itu terkait kesalahan alat atau metodenya maupun manusianya (human errornya). 

Dalam mengukur kemiskinan BPS mencoba melakukan penghitungan kemiskinan  dengan pendekatan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Artinya kemiskinan itu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya baik makanan maupun nonmakanan yang diukur dari sisi pengeluaran dengan membangun suatu garis imaginer untuk memilah penduduk miskin, hampir miskin dan tidak miskin yang dinamakan garis kemiskinan. 

Garis ini dibentuk oleh garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskian non-makanan.  Perlu keahlian khusus dan teliti dalam melakukan penghitungan seperti ini. 

BPS sebelum membentuk garis kemiskinan, terlebih dahulu mengumpulkan data dan informasi terkait pengeluaran penduduk baik makanan dan non-makanan yang dituangkan dalam suatu kegiatan yang disebut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahunnya. Tujuannya adalah untuk menangkap dan melihat jumlah pengeluaran rata-rata dari sisi makanan dan non-makanan pada rumah tangga yang terpilih sebagai sampel yang mewakili karateristik populasi suatu masyarakat di suatu wilayah. 

Untuk pengeluaran makanan pendekatan yang digunakan sekitar 174 komoditas yang mencakup bahan makan, bahan minuman dan rokok dan tembakau yang dikelompokkan menjadi 14 subkelompok pokok yakni subkelompok padi-padian; subkelompok umbi-umbian; subkelompok ikan/udang/cumi/kerang; subkelompok Daging; subkelompok Telur dan Susu; subkelompok sayur-sayuran; subkelompok Kacang-kacangan; subkelompok buah-buahan; subkelompok minyak dan kelapa; subkelompok bahan minuman; subkelompok bahan minuman; subkelompok bahan makanan lainnya; subkelompok makanan dan minuman jadi; dan subkelompok rokok dan tembakau yang dikonsumsi selama seminggu terakhir. 

Sedangkan untuk menghitung pengeluaran non-makanan menggunakan 121 komoditas yang terbagi ke dalam 6 subkelompok yaitu subkelompok perumahan dan fasilitas rumah tangga; subkelompok aneka barang dan jasa ; subkelompok pakaian, alas kaki dan tutup kepala; kelompok barang tahan lama; sub kelompok pajak, pungutan dan asuransi;  dan sub kelompok keperluan pesta dan upacara/kenduri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun