Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rintihan dari Relung Hati Petani

10 Mei 2019   14:38 Diperbarui: 10 Mei 2019   14:59 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : independensi

Kehidupan petani memang tak jauh dari tanaman, baik itu berupa sayur maupun buah-buahan. Tak diragukan lagi jika petani mempunyai ketahanan pangan yang sangat baik.

Salah satu instrumennya adalah keberadaan sawah maupun ladang. Sawah merupakan sumber kehidupan bagi para petani. Kebutuhan pangan dan ekonomi dapat tercukupi dengan adanya sawah. Namun tak sepenuhnya bergantung pada hal itu. Harus ada kegiatan sampingan untuk menunggu musim panen tiba.

Menjadi petani tidaklah mudah, namun kontribusinya sangat besar bagi roda ekonomi bangsa. Mengingat bangsa ini mempunyai lahan pertanian yang sangat luas. Tak heran jika di masa orde baru, Indonesia bisa swasembada pangan.

Kondisi swasembada pangan dapat terealisasikan kala itu tak jauh dari adanya lahan yang masih luas dan jumlah penduduk yang masih terbilang sedikit. Kini pertumbuhan penduduk yang semakin melejit dan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Memaksa sebagian besar lahan digunakan untuk kawasan industri, pemukiman, perkantoran maupun yang lainnya.

Sehingga akibat pertambahan jumlah penduduk dan lahan pertanian yang semakin berkurang menyebabkan swasembada pangan saat ini belum sepenuhnya terealisasikan.

Jika melihat kondisi lapangan, belum sepenuhnya kegiatan pertanian dilakukan oleh mesin maupun berbasis teknologi digital. Namun patut disyukuri pula adanya modernisasi  pertanian seperti traktor dapat membantu proses pembajakan lahan secara cepat dan dapat mengejar waktu tanam padi.

Selain itu adanya mesin combine harvest (pemanen padi) juga membantu memanen padi lebih cepat dan semakin banyak padi yang dipanen. Hal ini patut disyukuri pula keberadaannya.

Namun keberadaan mesin ini juga menimbulkan polemik di kalangan pekerja pemanen padi. Hal ini dirasa dapat memangkas tenaga kerja dan menghilangkan pekerjaan sebagai pemanen padi. Jika dalam sekali kegiatan memanen padi, para pekerja mendapatkan upah sekitar Rp. 100.000 -- Rp. 200.000 per harinya, dengan beralihnya panen padi menggunakan mesin combine harvest otomatis mereka tidak mendapatkan apa-apa.

Konflik petani tidak hanya terletak pada kegiatan panen maupun pasca panen. Saat mulai memasuki tanam baru pun tak jauh dari masalah. Misalnya setiap tahunnya ongkos traktor, upah tandur (orang yang menanam padi), upah matun (pekerja pencabut rumput di sawah) selalu naik. Kenaikan tersebut tidak ada dasar maupun aturan yang ditetapkan oleh para pemangku kepentingan (stake holder). Artinya kenaikan tersebut didasarkan secara tiba-tiba yang telah dilakukan oleh sekelompok pelaku tersebut.

Memasuki masa perawatan padi juga timbul masalah baru. Kelangkaan pupuk salah satu penyebabnya. Pupuk memang menjadi kebutuhan pokok oleh petani. Jika petani menggarap padi di sawah dan menanam jagung di ladang, tentu keduanya membutuhkan pupuk sebagai suplemennya.

Ketersediaan pupuk belum sepenuhnya menimbulkan rasa aman bagi petani. Sesama petani harus saling berebut untuk mendapatkan pupuk. Karena keduanya saling membutuhkan. Petani yang satu, untuk digunakan memupuk padi. Dan petani yang kedua digunakan untuk memupuk jagung.

Jika salah satu petani tidak mendapatkan pupuk tepat waktu. Maka akan mengalami penundaan. Seharusnya dalam kurun waktu yang ditentukan tanaman harus sudah dipupuk. Namun karena tidak adanya pupuk terpaksa harus ditunda hingga pupuk tersedia. Ancaman jagung kurus maupun padi memerah akan terjadi. Karena kekurangan pupuk atau terlambat memberi pupuk.

Selain pupuk, penggunaan pestisida juga tak jauh dari petani. Petani belum sepenuhnya berani mengambil keputusan menghasilkan padi secara organik. Mungkin jika padi organik digunakan sebagai konsumsi sendiri masih berani. Namun jika untuk dijual kepada tengkulak nampaknya harus menghitung ulang apa yang menjadi keinginannya.

Penanaman padi secara organik jika tidak dibarengi oleh semua petani yang lain. Tentu akan mengakibatkan kerugian bagi petani organik itu sendiri. Mengapa demikian ?

Para petani mempercayai bahwa penggunaan pestisida dapat mengusir hama secara cepat dan mempercepat pertumbuhan tanaman. Jika tanaman padi tumbuh begitu cepat dan pertumbuhannya sama cepatnya dengan padi berpestisida dari petani-petani yang lainnya. Secara penyerangan, hama tanaman akan menyebar pada padi-padi yang lainnya. Artinya hama itu akan menyerang secara merata dan tidak menyerang padi milik personal.

Namun sebaliknya, jika ditanami padi organik. Seperti yang kita ketahui, padi organik membutuhkan waktu yang lama secara umurnya. Hal ini dikarenakan padi tersebut tumbuh secara alamiyah. Jika disekelilingnya, padi sudah lebih cepat pertumbuhannya otomatis waktu panen juga lebih cepat. Tentu hal ini akan memengaruhi padi organik. Jika padi disekelingnya sudah dipanen semua, hanya menyisakan padi organik. Hama maupun hewan (burung, tikus, walang sangit) akan menyerang padi organik tersebut. Mengingat ekosistem sawah yang terdiri dari berbagai macam penghuni dan semua itu membutuhkan makanan untuk hidup. Bukan tidak mungkin, petani akan gagal panen karena kondisi demikian.

Disisi lain secara waktu, padi organik akan tertinggal untuk memasuki masa tanam selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan mengapa petani tidak mengambil sikap menanam padi secara organik. Mengingat bertani itu juga merupakan sebagai sebuah kegiatan gotong-royong dan solidaritas antar sesama.

Penggunaan pestisida juga menimbulkan keresahan bagi petani. Hal itu tak terlepas dari harganya. Dalam botol kecil yang hanya beberapa mili, seperti reagent harganya berkisar Rp. 50.000- Rp. 100.000. Dalam satu musim tanam, biasanya petani menghabiskan 2-3 botol. Belum lagi pestisida yang lainnya. Tak jarang jika para petani yang tidak mempunyai modal harus meminjam uang atau menghutang pestisida (obat-obat pertanian) di toko pertanian. Yang nanti akan dibayarkan setelah padi nya laku dijual saat panen.

Masalah seolah tak pernah berhenti dari petani mulai dari menanam, merawat, bahkan memanen. Salah satunya saat panen padi. Ongkos yang dikeluarkan dari menanam, merawat hingga menuju panen sudah begitu besar. Tiba-tiba harga beras anjlok dan rendah di pasaran. Tentu hal ini membuat petani menangis meronta-ronta. Pasalnya perjuangan untuk menuju puncak tidaklah mudah dan dihinggapi berbagai masalah.

Menyongsong hadirnya pemimpin Indonesia lima tahun kedepan, salah satunya dapat mengambil kebijakan dan membuat regulasi baru terkait hal tersebut. Petani di daerah paling bawah merasa masalah yang dihadapi sudah begitu komplek. Rasa-rasanya beban tersebut jika harus berputar terus tanpa adanya penyelesaian, dapat mengikiskan harapan petani untuk berkontribusi lebih terhadap bangsa ini. Khususnya sebagai penggerak roda perekonomian.

Selain solusi kebijakan dan regulasi perlu adanya inovasi digital sebagai sebuah sistem yang dapat mengkontrol dan membantu proses pemasaran di lapangan. Seperti adanya start up disektor pertanian.

Selama ini start up yang sudah menjadi unicorn hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang ada di perkotaan. Padahal jika dilihat dari berputarnya ekonomi yang ada dalam pertanian juga tak kalah besar dengan perputaran ekonomi dari start up lainnya. Kebutuhan seperti pupuk, pestisida, tenaga pertanian, upah pekerja, jual beli saat panen hingga industri pasca panen diyakini mampu menjadi unicorn baru jika dapat dihimpun dengan baik.

Mungkin tulisan ini mewakili apa yang selama ini bersarang direlung hati petani. Yang entah tak tau harus kemana untuk disuarakan. Apa mungkin suara yang telah dititipkan kepada para wakil saat reses, hanya terduduki dibalik kantong celana belakang?. Entahlah, itu bukan yang sedang kami cari saat ini.

Yang pasti, memperlakukan petani bukan seperti lebah di hutan. Diambil madunya lalu ditinggalkan. Namun perlakukanlah seperti lebah di pekarangan. Diambil madu nya lalu dikembangbiakan. Atau dalam Bahasa Yunani kuno sering dikenal dengan "ojo mung gelem penak e tok, nanging ora gelem ngerti rekasane".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun