Fenomena standar kecantikan di Indonesia masih menjadi topik yang sering diperbincangkan. Budaya yang ada di masyarakat Indonesia sering kali menganggap bahwa seseorang itu cantik atau tampan dilihat dari kulit putih, hidung mancung, rambut lurus, tubuh ideal, dan tinggi semampai. Padahal, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keberagaman suku, budaya, dan ras, menetapkan satu standar kecantikan terkesan tidak adil karena hanya berdasarkan pada satu standar kecantikan yang sempit.
Setiap orang memiliki pandangan sendiri terkait sisi kecantikan yang subjektif dan beragam. Tidak heran masalah insecuritas masih sangat tinggi karena stigma yang dibuat oleh masyarakat sehingga banyak sekali perempuan juga laki-laki yang merasa tidak percaya diri dikarenakan tidak sesuai dengan standar kecantikan yang telah beredar di masyarakat. Nah, mengapa masyarakat Indonesia sangat terpaku dengan standar kecantikan? Apa yang melatarbelakangi munculnya standar kecantikan itu sendiri?
Awal mulanya standar kecantikan itu tercipta adalah pada masa kolonialisme, dimana pada saat itu Belanda menduduki Indonesia selama 350 tahun lamanya. Dari situ mereka mengatur hierarki untuk menekan populasi masyarakat Indonesia dengan meletakkan Belanda sebagai kaum kasta teratas, Tionghoa pada kasta menengah, sedangkan masyarakat Pribumi berada di kasta terendah.
Menurut Anne McClinctok dalam Wulan (2017), kolonialisme membentuk hubungan erat antara warna kulit dengan konsep kebersihan dan superioritas (Wulan, 2017). Pada masa itu, penduduk asli di wilayah jajahan mereka dianggap kotor dan liar karena memiliki warna kulit yang lebih gelap, berbanding terbalik dengan perempuan Eropa yang memiliki kulit putih yang menjadi simbol keanggunan dan kesempurnaan.
Menurut Fiona Callaghan M.Si dalam videonya “How Colonialism Shapes Indonesian Beauty Standard”, pengaruh kolonialisme itu yang membentuk alam bawah sadar, mental, kebiasaan, dan juga mindset masyarakat Indonesia agar mau tunduk terhadap paham yang mereka coba sebarkan, sehingga menggoyahkan jati diri dan identitas masyarakat Indonesia dengan membuat masyarakat Indonesia merasa tidak pantas, tidak percaya diri, dan insecure.
Akan tetapi, bukannya paham ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, justru paham ini semakin mengakar ke dalam budaya masyarakat Indonesia itu sendiri, sehingga preferensi terkait cantik itu harus berkulit putih tidak menghilang hingga saat ini.
Di era modern saat ini, para generasi muda atau yang lebih akrab disapa Gen Z tak luput dari dampak psikologis karena standar kecantikan ini, terlebih di tengah arus digitalisasi, media sosial sudah menjadi wadah terbuka yang memperkuat pandangan tersebut dengan menampilkan citra-citra kecantikan yang sering kali tidak realistis.
Media sosial sendiri kerap kali digunakan sebagai panggung sosial untuk mereka yang ingin unjuk kecantikan seolah-olah sedang melakukan perlombaan. Banyaknya perilaku tersebut di media sosial, tidak sedikit remaja kehilangan kepercayaan dirinya hanya karena melihat postingan seseorang yang terlihat sempurna.
Akibatnya, banyak remaja yang membandingkan diri mereka dengan figure tersebut, padahal kenyataannya, sering kali apa yang diposting di media sosial tidak sesuai dengan kondisi asli seseorang tersebut.
Dan akhirnya standar kecantikan itu menyebabkan terciptanya ketimpangan pada masyarakat karena stigma yang terus mengakar. Karena hal itu pula banyak individu, terutama generasi muda, merasa tertekan karena terus-menerus dituntut untuk tampil sempurna demi mendapatkan pengakuan dari orang lain.