Mohon tunggu...
Naim Emel Prahana
Naim Emel Prahana Mohon Tunggu... Penulis - penulis dan jurnalist

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rutinitas "Kau" di Backpacker III Teater Lampung

17 April 2021   02:25 Diperbarui: 17 April 2021   02:28 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Barangkali aku kembali menulis tentang pepohonan dan daun-daunnya yang rindang dicelah-celah musim penghujan diselingi hari-hari tanpa hujan. 

Keinginan menulis itu kadang sirna bahkan takut akan sambaran petir yang menggelegar tak pandang objek. "Datang dan menghantam!" Tentu, tentunya saat hujan deras turun diselingi suara petir aku beristirahat menunggu waktu penuh gairah.

Ini yang kesekian kali pertimbangan dan melihat tetangga dan lalulalang suara di jalan raya menuangkan semangat 'kembali' ingin bersendagurau dengan tos keyboard sambil menghafal letak huruf-hurufnya. Mengembalikan kebiasan menulis memang tidak mudah juga tidaklah sulit, kecuali malas karena nggak ada duit.

Kali ini aku memang sedang menulis sembari mebayangkan rimbunnya pepohonan di Bumi Perkemahan Kiara Payung, Metro Selatan. 

Bumi perkemahan itu menakjubkan, kendati kantor Kwarcab Pramuka dengan gedungnya tidak terurus dengan baik. Tidak mengapa, kenapa harus menyerempet ke sana. Baiklah, perjalanan ini harus diteruskan.

Sesampainya aku di sana bersama DR Agus Muhammad Septian---seorang tokoh muda yang brilian aku sudah membaca anak-anak muda yang menghayati dunia seni khususnya seni panggung ada di mana-mana. 

Property semacam kemah berukuran dari kain sudah terpasang. Menakjubkan! Ada panggung sekitar 4 X 3 meter dengan backgound nama acara bertajuk Backpacker III Teater Lampung dari jarak beberapa meter tak terbaca---mungkin karena dibuat dengan design milenial. Tapi, aku membacanya, asyik.

Dunia teater Lampung sedang begawi dan anak-anak teater hampir kebanyakan berusia muda sibuk dan berbincang. Dunia ini pernah aku geluti tahun 1980---1984 di Yogjakarta bersama teater Lataah dan teater Unisi (Universitas Islam Indonesia). 

Dan, 1986---1988 dunia teater di Kota Metro---saat itu ibukota Kabupaten Lampung Tengah lagi tumbuh subur. Sekitar 13 grup teater ada di Metro ditambah dari Kotagajah, Simbarwaringin dan Pekalongan. 

Dan kurun itu pula aku mendirikan Dewan Kesenian Metro (DKM) yang pengurusnya antara lain Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib), Edy Jayasinga dan lainnya aku lupa serta kurun waktu pula muncullah beberapa penyair Metro salah satu yang berhasil mentas sebagai pembaca puisi adalah Muadin Efuari dan Mulya Putra BAF.

Semangat berkesenian di Kota Metro khususnya dan Lampung Tengah pada umumnya luar biasa. Beberapakali pementasan dan menjadi panitia pementasan Teater Krakatoa di tengah dominasi kekuasaan orde baru. 

Semangat ketertindasan tidak sirna manakala Teater Krakatoa dan Emha Ainun Najib dicekal di kampus UMM (2 X). Pementasan seni, drama sampai ke Festival Seni Sastra pun dihelat.

Beberapa gedung yang pernah dipakai antara lain Balai Desa Serbaguna Hadimulyo, Balai Desa Yosodadi, GOR Jurai Siwo dan Aula Depdikbud Lampung Tengah (Kini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro) sampai pementasan di Kotagajah. 

Sebagai Pimpinan Harian dan penyiar Radio PT Dei Marganusa berusaha terus mengalirkan kegiatan seni budaya di kota kolonisasi Metro itu. Memang patut disayangkan sejak 1990 kegiatan tersebut makin hari makin vacum---banyak faktornya, terutama masalah pekerjaan dan ekonomi para pelaku seni di Metro.

Demikianlah dalam, panjang dan berlikunya sebuah proses perjalanan di muka bumi ini di dalam dan di luar perpustakaan. Kadang terlalu cepat menghapus hilangkan rutinitas dan stempelnya karena 'alibi' itu dan hanya mengangkat tangan menyerah sebelum alibi itu diungkapkan. 

Kenapa sih orang jarang menyambut musim panas atau hujan. Selalu saja menyebut dalam sambut musim semi? Justru musim yang tidak disambut itu banyak melahirkan produk-produk dari tradisional ke kontroversial.

Barangkali sejenak sambil meneguk segelas kopi pagi ini berusaha melakukan investigasi lingkungan di mana banyak aktivitas rutin tak terjangkau oleh kabar berita. 

Itu mungkin karena kabar berita sudah dicekoki pihak-pihak tertentu, dengan tujuan tertentu misalnya ingin menguasai panggung kegiatan birokrasi. 

"Ndak ape-ape" justru kita ramu semuanya dalam tempaan proses kreasi salah satunya apa yang dilakukan bidang teater Dewan Kesenian Metro (DKM) Lampung.

Backpacker III Teater Lampung adalah fakta serangkaian keinginan untuk mewujudkan seribu harapan menjadi SATU kenyataan mimpi. Semuanya akan jadi bunga rampai dalam catatan sejarah seni panggung di sini di Metro untuk Lampung. 

Boleh jadi ada beberapa teritorial dapat dijadikan obrolan dikemudian hari atau sama sekali tidak. Tiga nama pertama tentu perlu diberi support di Backerpacker III Teater Lampung, Iswadi Pratama, Ari Pahala dan Muadin Efuari---setidaknya ketiganya adalah aktor panggung yang dapat sambutan dari audience.

Sayang saya tidak sempat ketemu dengan Iswadi Pratama dan Ari Pahala, keburu pamit dengan alasan klasik ha ha ha 'sibuk'. Tapi, memahami mereka tidak harus ketemu karena sebelum-sebelumnya pernah ketemu di agenda acara lain, masih di panggung seni sastra (budaya).

Ternyata infonya kegiatan panggung (teater) di Lampung cukup presentatif untuk mengolah potensi yang ada menjadi idola publik. Sejauh ini memang masyarakat seni sastra masih menjadi persoalan tersendiri pada judul "sejauhmana masyarakat umum mencintai kegiatan seni sastra dan budaya di sini?"

Di balik harus diakui sosok Iswadi Pratama boleh jadi penerus teater Krakatoa era 80-an. Dengan rutinitas, kreasi dan pengalamannya selama ini, Iswadi Pratama cukup kental memahami dunia panggung---penulis naskah---dan penyutradaraan. Saya support! Ari Pahala---juga aktor panggung, dan Muadin Fuari memang jagonya di panggung. Dia seorang pembaca puisi yang sangat baik.

Rutinitas berkesenian---termasuk berteater so pasti jadi proses meningkatkan kualitas individu, kelompok dan kawasan kesenian itu sendiri, yakni Lampung, Kota Metro, Pringsewu, Bandarlampung, Kotabumi dan tempat lainnya. Karena 'kau' adalah rutinitas di dalam sebuah proses panjang.

Proses itu pun menyadarkan semuanya bahwa muatan lokal sangat perlu dijadikan standar optimal, agar mampu mengisi kompetisi karya-karya dari npenjuru dunia lainnya. 

Lupakan lik and dislake dalam mengedepankan komunitas dan karya-karyanya. Kebutuhan database masih belum tergoyahkan, akibat tergerusnya pola pandang tentang 'aku', 'kau' dan 'mereka'.

Letakkan pot bunga di tempatnya, agar orang yang melihat dan berjalan-jalan tidak menyepak kembang-kembang di dalam pot nan indah penuh pesona. Menjadikannya gnethi seation yang akan mengangkat semua derajat, sekecil apapun manfaat bagti orang lain di luar para pelaku seni dan budaya. Harus dipertimbangkan untuk sebuah bunga rampai yang tidak akan lenyap di kemudian hari.

Karakteristik Lampung mungkin sangat berbeda dengan karakteristik Yogjakarta atau Bandung maupun Pekanbaru. Jangan merobek lembaran awal dan akhir dari buku-buku panggung kesenian itu. 

Tiupan angin selembut apapun dapat merasuki relung jiwa para seniman. Nikmati dan lakoni secara proporsional. Selamat untuk aktivitas Backpaceker III Teater Lampung.

Catatan Naim Emel Prahana

Praktisi seni budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun