Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Hal ini terjadi karena di masa remaja penuh dengan gejolak perubahan biologis, psikologis, mapun perubahan sosial. Dalam keadaan serba tanggung ini, seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri (konflik internal) yang dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama terhadap pematangan karakternya dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental. Jenis masalah kesehatan mental yang umum terjadi adalah depresi dan kecemasan. Gangguan kecemasan dan depresi yang dialami remaja tanpa pertolongan, cenderung mengarah pada rasa putus asa karena merasa tidak adanya pengertian dari lingkungan sekitar mereka, seperti teman sebaya, orangtua, dan juga pasangan (Marianti, 2017). Dalam beberapa kasus, remaja yang kurang pengertian seperti ini memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan alasan klasik akibat kurangnya bimbingan dari orang- orang terdekatnya.
Dalam era globalisasi ini, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para remaja. Mereka dituntut untuk menghadapi berbagai kondisi, baik yang datang dari dalam diri mereka sendiri maupun yang datang dari lingkungannya. Akan tetapi, tuntutan tersebut juga diimbangi dengan semakin maraknya kasus di kalangan remaja akibat kurangnya kemampuan mengontrol pola emosional yang datang dalam diri remaja.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga meriset depresi pada tahun 2018. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 mengungkapkan prevalensi depresi di Indonesia adalah 6% dari total jumlah penduduk. Selain itu, usia depresi juga banyak terjadi di kalangan anak muda berusia 15 hingga 24 tahun dan sebanyak 6,2% kaum milenial muda. Menurut Karl Peltzer dan Supa Pengpid dalam "Generasi Muda Dihantui Gangguan Mental" oleh Anindhita Maharani (2019) gejala depresi pada kaum muda di Indonesia melalui riset berskala nasional yang mereka lakukan mengungkap, remaja berusia 15 hingga 19 tahun menunjukkan gejala depresi tertinggi dibandingkan kelompok usia lain
.Di sisi lain, masyarakat terkadang salah tafsir dengan menyalahkan media sosial dan video game dan kerap membatasi anak mereka mengakses sesuatu dan mengekangnya dengan alasan supaya tidak terpengaruh hiruk-pikuk dunia luar yang melenceng dari sisi moralitas. Akan tetapi, yang perlu ditekankan di sini adalah sosialisasi dari orang dewasa maupun lingkungan pergaulan dari remaja itu sendiri. Media sosial, video game, internet, dan lain-lain hanya sebagai perantara, bukan sebagai tokoh utama yang merusak kesehatan mental remaja. Pemblokiran situs-situs tertentu, begitupula dengan video game, tidak akan memiliki arti apabila tidak disertai dengan bimbingan nyata dari orang-orang sekitar. Tindakan preventif tersebut hanya akan menjadi sia-sia tanpa adanya tindakan secara langsung. Banyak pihak yang mengabaikan arti penting atau hanya sekadar mengetahui makna umum dari kesehatan mental remaja tanpa mempertimbangkan langkah selanjutnya untuk membentuk karakter remaja yang sehat secara jasmani maupun rohani.
Mengutip kalimat 'Mens sana in corpore sano' yang artinya 'di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat', dapat diperoleh dua faktor utama yang menjadi dasar kesehatan manusia yaitu kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa salah satu yang sehat akan menjadi sebuah masalah bagi diri pribadi ataupun lingkungan. Terutama jika terdapat gangguan pada kesehatan mental yang akan menimbulkan masalah bagi lingkungan sosial penderita. Daradjat dalam Yocta Nur Rahma (2015) mendefinisikan kesehatan mental dengan terwujudnya keharmonisan yang sungguh- sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Kesehatan mental dapat pula diterapkan dalam bidang-bidang pendidikan, pengajaran, dan bimbingan konseling. Dalam hal ini keberadaan kesehatan mental pada komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan di lingkungan sekolah diperlukan agar proses pendidikan dan hasil pendidikan dapat menjadi optimal. Fenomena ketidaksehatan mental dalam lingkungan pendidikan dapat dicontohkan seperti kecemasan menghadapi ujian, frustasi terkait dengan bahan pelajaran yang sulit dipahami oleh siswa, dan depresi diakibatkan kegagalan dalam mencapai standard nilai ujian. Gangguan kesehatan mental (disorder) umumnya
dicirikan oleh adanya disfungsional (gangguan) individual dalam kehidupannya dalam jangka waktu tertentu, serta gangguannya bukan hanya berasal dari pengaruh fisik atau biologis saja (virus, bakteri, atau cacat fisik). Menurut Aulia Rahma (2019) dalam artikel yang berjudul "Kesehatan Mental" mengemukakan beberapa ciri seseorang dapat diklasifikasikan sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik, yaitu: (a) Seseorang memiliki perasaan bahagia dan kepuasan dalam menjalani kehidupan. Kepuasan menjalani kehidupan yang dimaksud yaitu dapat menikmati setiap segi kehidupan tanpa ada beban. (b) Seseorang memiliki semangat dalam menjalani kehidupan. Dalam makna bahwa seseorang tersebut dapat memaknai hidupnya dan tidak pernah berpikir untuk mengakhiri kehidupan sebelum waktunya.
(c) Seseorang memiliki kemampuan untuk merealisasikan diri. Kemampuan realisasi diri adalah kemampuan berpartisipasi dalam hidup sesuai dengan potensi-potensi terbaik yang ada dalam dirinya melalui aktivitas-aktivitas hidup yang bermakna dan hubungan sosial yang positif.
Menghadapi remaja dengan gangguan kesehatan mental bukanlah suatu fenomena yang dapat diatasi dengan cara menghukum atau mengalienasi anak ketika melakukan suatu hal yang tidak sesuai aturan. Gangguan tersebut merupakan suatu hal yang dianggap tidak sejalan atau tidak biasa, dalam hal ini mengacu pada kesehatan mental remaja. Perlu kesabaran dan pendekatan yang tepat dalam menghadapi masalah sosial yang berkaitan dengan psikis remaja. Hal ini karena gangguan kesehatan mental memiliki sifat yang unik terhadap setiap individu. Sehingga pemahaman yang diperoleh dari berita, artikel, dan buku saja tidak cukup. Itulah sebabnya, perlu ada kedekatan dengan individu yang mengalaminya dalam upaya memahami masalah remaja. Diperlukan suatu wadah yang menghimpun dan mendalami masalah kesehatan remaja yang sifatnya komunikatif dan edukatif. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menawarkan pembentukan sebuah organisasi yang khusus menangani masalah kesehatan mental remaja di bawah bimbingan dari guru BK di masing-masing sekolah dengan siswa remaja sebagai konselor sebaya. Hal ini dikarenakan, penulis ingin menciptakan atmosfer yang kondusif bagi lingkungan kesehatan mental remaja dengan menyediakan tempatnya
berkeluh kesah dan melakukan kegiatan yang berdampak positif bagi kesehatan mental remaja, seperti ikut serta dalam kegiatan KKR (Kader Kesehatan Remaja), dan penyuluhan yang dilakukan oleh konselor sebaya dengan pertunjukan khas kesenian Bali yaitu Topeng Bondres sebagai perantara dalam penyampaian pendidikan mengenai kesehatan mental remaja.
Menurut Tohirin (2013:24) konseling adalah kontak atau hubungan timbal balik antara dua orang (konselor dan klien) untuk menangani masalah klien, yang didukung oleh keahlian dalam suasana yang laras dan integrasi, berdasarkan norma- norma yang berlaku untuk tujuan yang berguna bagi klien. Teman sebaya adalah individu-individu atau remaja dengan tingkat kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Keduanya memiliki kesamaan dalam memberikan batasan pada pengertian teman sebaya yaitu bahwa teman sebaya merupakan teman yang sejajar atau memiliki tingkat usia dan kematangan yang sama. Jadi, konseling sebaya dapat diartikan sebagai program bimbingan yang dilakukan oleh individu terhadap individu yang lain yang sebaya. Individu yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau bimbingan oleh konselor. Individu yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor yang membantu individu lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu, dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi dan perkembangan atau masalah individu yang perlu mendapat layanan bantuan bimbingan atau konseling.
Konseling sebaya dipandang cukup efektif karena diberikan oleh teman sebayanya sendiri. Pada remaja, ada kecenderungan untuk memiliki keyakinan bahwa hanya dia yang mengalami pengalaman unik, bukan orang dewasa lain. Oleh karena itu, penguatan melalui konseling sebaya dipandang cukup bermakna untuk dilakukan. Adapun tujuan konseling sebaya adalah sebagai berikut: