Angin senja di Desa Karang Jati selalu membawa aroma wangi bunga melati dan suara adzan yang syahdu. Di balik tembok putih rumahnya, Hasan tersenyum bangga. Hari ini ia baru saja selesai memimpin doa di majelis taklim, dan pujian dari para tetangga masih terngiang di telinganya. "Pak Hasan memang ahli ibadah," kata salah satu dari mereka. "Hati dan lisannya selalu sejalan."
Hasan mengangguk-angguk. Ia memang merasa begitu. Setiap hari, ia adalah orang pertama yang tiba di masjid untuk sholat subuh, dan orang terakhir yang pulang setelah sholat isya. Ia fasih melafalkan ayat-ayat suci dan selalu menyumbang paling banyak untuk pembangunan masjid. Bagi penduduk desa, Hasan adalah teladan yang sempurna, cerminan seorang muslim yang taat.
Namun, di balik jubah takwa yang ia kenakan, bersembunyi jurang yang dalam. Ada satu orang di desa itu yang paling ia benci, seorang petani tua bernama Kasim. Kasim adalah kebalikan dari Hasan. Pakaiannya lusuh, rumahnya reyot, dan ia tak punya harta benda. Namun, Kasim memiliki sesuatu yang tak bisa dibeli: hati yang tulus. Ia selalu membantu tanpa pamrih, senyumnya selalu hadir, dan meski tak sefasih Hasan, doanya terdengar begitu murni.
Hasan tak pernah mengerti mengapa ia begitu membenci Kasim. Mungkin karena Kasim tak pernah memujinya, atau mungkin karena ia melihat ketulusan di mata Kasim yang membuatnya merasa kecil. Rasa benci itu tumbuh subur di hatinya, perlahan mengubahnya menjadi batu.
Suatu sore, Kasim datang ke rumah Hasan dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat pucat dan putus asa.
"Assalamu'alaikum, Pak Hasan," ucap Kasim lirih.
Hasan, yang sedang duduk di beranda sambil membaca buku, hanya menatapnya sekilas. "Wa'alaikumussalam. Ada apa, Kasim?" suaranya terdengar dingin.
"Anak saya, Fatimah... demamnya tak turun-turun, Pak. Dokter bilang harus segera di bawa ke kota, tapi saya tak punya uang," suara Kasim tercekat. "Maukah Bapak meminjamkan sedikit uang? Insya Allah akan saya ganti saat panen nanti."
Mata Hasan menatap Kasim dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaiannya yang kotor, tangannya yang kapalan. Sejenak, ia teringat bagaimana orang-orang memujinya karena kedermawanannya. "Orang yang dermawan itu hatinya bersih, Pak Hasan," mereka sering berkata.
Tapi hati Hasan tidak bersih. Hatinya kaku dan beku, tertutup oleh lapisan es keangkuhan dan kebencian. Ia memejamkan mata, seolah-olah doa dan ibadahnya akan menjadi tameng dari perasaannya yang sesungguhnya. Ia tak ingin orang lain tahu, ia tak ingin mengakui.
"Maaf, Kasim," kata Hasan dengan suara yang dibuat setenang mungkin. "Uang saya sedang habis untuk keperluan keluarga. Lebih baik kau berusaha sendiri."