Globalisasi kerap dipandang sebagai takdir sejarah—sebuah proses alamiah yang membawa dunia ke arah keterhubungan tanpa batas. Di atas kertas, ia menjanjikan efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan bersama. Namun dalam praktiknya, globalisasi juga menyisakan pertanyaan kritis: apakah keterbukaan ekonomi global benar-benar memperkuat kedaulatan nasional, atau justru menggerusnya secara perlahan?
Bagi banyak negara berkembang, janji-janji globalisasi sering kali datang bersamaan dengan pelemahan kapasitas industri domestik, ketergantungan pada produk asing, dan peran negara yang dipinggirkan. Di tengah kondisi ini, teori merkantilisme—yang dulu dianggap usang dan proteksionis—kini kembali mendapat tempat sebagai alat baca terhadap dinamika ekonomi global dan pertahanan kepentingan nasional.
Membaca Ulang Merkantilisme
Merkantilisme berkembang pada abad ke-16 hingga 18, saat negara-negara Eropa mulai membangun kekuatan ekonomi mereka melalui perdagangan luar negeri yang dikontrol ketat. Tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan nasional melalui ekspor maksimal dan impor minimal. Negara, dalam pandangan merkantilisme, adalah aktor utama yang harus campur tangan dalam aktivitas ekonomi demi menjamin kekuatan dan kedaulatan nasional.
Di era modern, gagasan ini sempat dikalahkan oleh liberalisme ekonomi yang mengedepankan pasar bebas dan minimnya peran negara. Namun realitas menunjukkan bahwa keterbukaan pasar global tak selalu berpihak pada semua negara. Ketimpangan struktur produksi, dominasi korporasi multinasional, dan arsitektur keuangan global yang timpang membuat negara-negara berkembang berada dalam posisi defensif.
Dalam konteks inilah, semangat merkantilis menjadi relevan kembali. Ia mengingatkan kita bahwa ekonomi bukan hanya soal pertumbuhan angka, tapi juga soal kekuasaan, kendali, dan strategi jangka panjang.
Globalisasi yang Tidak Netral
Satu asumsi umum dalam narasi globalisasi adalah bahwa keterbukaan ekonomi akan memberikan manfaat universal. Nyatanya, keterbukaan ini sering dimanfaatkan oleh negara-negara kuat untuk memperluas dominasi ekonomi mereka. Melalui deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan, negara-negara berkembang didorong untuk membuka pasarnya. Namun tanpa perlindungan dan penguatan domestik, banyak dari mereka justru terjebak dalam ketergantungan struktural.
Kita bisa melihat contohnya dari banyak negara yang mengalami deindustrialisasi dini. Industri tekstil, manufaktur ringan, hingga pertanian yang dulu menjadi tumpuan ekonomi domestik kini harus bersaing dengan barang impor murah dari luar negeri. Akibatnya, banyak sektor lokal gulung tikar, tenaga kerja terpinggirkan, dan ketergantungan pada produk luar meningkat.
Di Indonesia, liberalisasi perdagangan yang agresif sejak dekade 1990-an membuat sejumlah industri lokal, seperti alas kaki, tekstil, dan elektronik, kesulitan bertahan dari serbuan barang impor, khususnya dari Tiongkok. Ketika negara tidak cukup kuat memberikan insentif atau perlindungan, sektor-sektor ini mengalami stagnasi. Meskipun ekspor tetap tumbuh, sebagian besar masih didominasi oleh komoditas mentah seperti batu bara dan kelapa sawit—bukan barang manufaktur bernilai tambah tinggi.
Kasus serupa juga terjadi di beberapa negara Afrika yang tergantung pada ekspor bahan mentah dan menjadi pasar bagi barang industri dari luar. Negara-negara seperti Ghana dan Nigeria, yang dulu memiliki industri pengolahan kakao dan tekstil, kini banyak mengimpor produk-produk tersebut dari luar negeri karena kurangnya investasi dan proteksi jangka panjang.