Mohon tunggu...
NAHLI
NAHLI Mohon Tunggu... Insinyur - Scientist, logist

Scientist, logist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sifat Kritis yang Mati dan Dimatikan

27 Juni 2021   20:46 Diperbarui: 27 Juni 2021   21:53 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang anak bertanya pada guru Agama-nya di sekolahnya, "Pak apa bukti Surga dan Neraka Pak?". Sang guru mengerenyitkan alisnya. Tampaknya dia kesal dengan pertanyaan yang tidak layak dilontarkan oleh seorang murid di negara yang merasa paling "beragama" di dunia. Sang guru bukannya menjawab dan malah menghakimi murid tersebut. 

"Kamu habis makan apa hey?!, sudah jadi kafir ya kamu?!". Si anak malah bingung dan ketakutan, namun keberanian dan adrenalin tiba - tiba mengalir deras di sekujur tubuhnya sembari mengajukan pertanyaan yang dia tidak tahu bahwa pertanyaan berikut itu justru membuat gurunya semakin geram, "Pak, 'Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepadaNya?'". 

Nasib si anak berakhir berjemur di bawah terik sinar matahari selama jam makan siang.

Itu hanya sebuah cerpen yang diilhami dari kisah nyata -kisah pribadi yang di hiperbola- yang mungkin bisa kita gali apa makna dari cerpen di atas.

Si anak mengungkapkan rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang besar, yang mungkin menghantuinya selama menuju tidur di malam hari. Mungkin pula si anak baru saja mendengar lagu dari Chrisye feat Ahmad Dhani yang berjudul "Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada". Lagu tersebut merupakan pertanyaan kritis terhadap pemahaman manusia tentang surga dan neraka.

Berfikir kritis sendiri merupakan cara berfikir yang tidak lekas percaya dan tajam dalam penganalisisan. Lalu bagaimana jika si anak tadi tidak lekas percaya dengan lekas percaya terhadap surga dan neraka, malahan dapat tuduhan dari sang guru. Apakah sifat kritis kita sudah mati atau dimatikan?

Tahun 2018 di Palu terjadi bencana yang dahsyat, guncangan 7.4 SR ditambah dengan fenomena likuifaksi. Uniknya, sebagian pihak menganggap terjadinya kejadian tersebut dikarenakan azab karena pemerintah kerap melakukan kriminalisasi Ulama sehingga membuat Allah SWT murka.

Ada beberapa teori yang bisa mendeskripsikan fenomena tersebut.

Post hoc ergo propter hoc - Jika B terjadi setelah A, maka A adalah penyebab terjadinya B

Sebuah frasa dari latin yang menarik, dan sepertinya tanpa disadari menjadi dasar pemikiran sebagian kelompok orang Indonesia. Ini adalah sebuah ironi ketika bencana alam di suatu daerah dihubungkan dengan asumsi sikap dari pemerintah. Kelompok ini mendasari pikiran dengan kebencian, sehingga mereka lupa kalau ada penjelasan ilmiah kenapa gempa dan likuifaksi bisa terjadi.

Mereka menolak untuk berfikir kritis untuk mengajukan pertanyaan "HOW" untuk sebuah kejadian. Bayangkan apabila setiap kejadian dihubungkan dengan sikap pemerintah. Jangan - jangan nanti ketika mereka kepeleset di lantai licin pun dikaitkan dengan kebijakan - kebijakan pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun