Tak terasa, 20 Oktober 2025 menandai genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Waktu yang terasa singkat, namun cukup untuk menilai arah kebijakan dan gaya kepemimpinan mereka. Saat kampanye dulu, Prabowo--Gibran membawa semangat Transformasi Indonesia Maju --- janji keberlanjutan dari era sebelumnya dengan sentuhan inovasi ala generasi muda.
Kini, satu tahun sudah berlalu. Pemerintah mengklaim banyak capaian, mulai dari pertahanan, hilirisasi industri, hingga ketahanan pangan. Namun di balik deretan prestasi itu, muncul pertanyaan sederhana dari rakyat:
"Apakah perubahan itu benar-benar terasa di kehidupan sehari-hari?"
1. Capaian: Kedaulatan dan Stabilitas yang Terjaga
Tidak bisa dipungkiri, penguatan sektor pertahanan dan pangan menjadi titik terang di tahun pertama ini. Sebagai mantan Menteri Pertahanan, Prabowo memahami pentingnya kemandirian militer. Program modernisasi alutsista dan kerja sama pertahanan dengan negara sahabat menunjukkan langkah serius menjaga kedaulatan.
Di sektor pangan, pemerintah memperluas program cadangan beras pemerintah (CBP), memperkuat subsidi pupuk, dan menggencarkan inovasi pertanian berbasis teknologi. Langkah-langkah ini patut diapresiasi karena menjadi pondasi bagi ketahanan nasional di tengah gejolak global.
Namun, capaian ini masih terasa di level makro. Bagi masyarakat bawah, yang terpenting bukan berapa besar investasi yang masuk, melainkan apakah harga bahan pokok stabil dan lapangan kerja tersedia.
2. Kritik: Ketimpangan dan Daya Beli yang Masih Rapuh
Di balik berbagai capaian, masalah ketimpangan ekonomi masih mencolok. Pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan. Banyak masyarakat kelas menengah ke bawah masih bergulat dengan naik-turunnya harga pangan, ongkos transportasi, dan biaya pendidikan.
Hilirisasi industri, yang menjadi kebanggaan pemerintah, juga belum sepenuhnya inklusif. Daerah industri seperti Morowali dan Halmahera memang menggeliat, tetapi daerah lain justru tertinggal. Efek ganda (multiplier effect) dari proyek besar belum dirasakan secara nasional.
Selain itu, lapangan kerja formal tumbuh lambat. Banyak anak muda akhirnya terjun ke sektor informal: ojek daring, reseller, atau wirausaha kecil tanpa jaminan sosial. Ini menunjukkan belum kuatnya ekosistem ekonomi digital dan perlindungan tenaga kerja di lapangan.
Masalah lingkungan juga mengemuka. Di beberapa daerah, proyek hilirisasi menimbulkan risiko pencemaran air dan udara. Jika tidak diantisipasi, transformasi ekonomi bisa berubah menjadi degradasi ekologis.