Di zaman sekarang, pejabat publik sering muncul di televisi atau media sosial untuk memberi komentar soal isu terbaru. Namun, menjadi pemimpin bukan hanya soal berbicara di depan kamera atau sekadar populer di dunia maya. Kepemimpinan sejati lahir dari kedalaman pikiran, kemampuan mengambil keputusan, dan kebijaksanaan. Semua itu tidak datang begitu saja. Salah satu cara terbaik untuk memperkaya diri sebagai pemimpin adalah dengan membaca buku.
Membaca bukan sekadar melihat deretan huruf. Dengan membaca, seseorang belajar memahami, mengkritisi, lalu menghubungkan isi bacaan dengan kehidupan nyata. Bagi pejabat publik, kebiasaan ini bisa menjadi bekal penting untuk memimpin dengan lebih bijak dan berpandangan luas.
Membaca Membentuk Pemimpin yang Lebih Bijak
Buku adalah jendela dunia. Melalui buku, pejabat bisa mengenal sejarah bangsanya, memahami nilai-nilai kemanusiaan, dan belajar dari pengalaman negara lain. Bung Hatta, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang menjadikan buku sebagai sahabat hidup. Dari literasi yang luas, ia merumuskan gagasan koperasi untuk menyejahterakan rakyat kecil.
Kita juga bisa belajar dari kisah pemimpin dunia.
Barack Obama menegaskan bahwa kebiasaannya membaca buku membuatnya mampu memahami masyarakat secara lebih mendalam. Begitu pula Lee Kuan Yew, bapak pembangunan Singapura, yang mengaku banyak membaca untuk merancang strategi negaranya. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pemimpin yang rajin membaca cenderung memiliki visi lebih jauh ke depan.
Membaca Membantu Mengambil Keputusan
Seorang pejabat setiap hari dihadapkan pada banyak keputusan. Ada yang berdampak kecil, ada juga yang bisa mengubah nasib banyak orang. Membaca buku dapat membantu pejabat melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
Misalnya, ketika membahas persoalan kesehatan, seorang pejabat yang rajin membaca tidak hanya melihatnya dari sisi medis. Ia juga bisa memahami dampak sosial, ekonomi, bahkan budaya. Pemahaman yang lebih luas inilah yang membuat kebijakan lebih matang dan tidak hanya reaktif terhadap situasi sesaat.
Selain itu, membaca juga melatih kemampuan berpikir kritis. Pejabat yang terbiasa membaca akan lebih berhati-hati dalam menerima informasi. Ia tidak mudah terjebak pada opini singkat atau berita palsu yang sering berseliweran di media sosial.
Membaca Menumbuhkan Empati dan Etika
Buku tidak hanya mengajarkan logika, tetapi juga menanamkan rasa kemanusiaan. Membaca novel, biografi, atau karya filsafat dapat menumbuhkan empati pada penderitaan orang lain. Hal ini penting bagi pejabat publik yang setiap keputusannya berhubungan langsung dengan nasib masyarakat.
Ketika seorang pejabat membaca kisah perjuangan tokoh bangsa atau pengalaman rakyat kecil, ia akan lebih sadar bahwa kekuasaan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk melayani. Dari sinilah lahir kepemimpinan yang berakar pada nilai moral dan keadilan.
Tantangan Literasi di Kalangan Pejabat
Sayangnya, kebiasaan membaca di kalangan pejabat kita masih rendah. Ada beberapa alasannya. Pertama, birokrasi sering membuat pejabat sibuk dengan rapat, laporan, dan kegiatan seremonial. Kedua, perhatian banyak pejabat lebih sering tersita oleh media sosial dan pencitraan. Ketiga, fasilitas literasi di kantor pemerintahan pun belum banyak yang mendukung.
Tidak heran, sebagian pejabat lebih senang memamerkan gaya hidup mewah ketimbang buku yang sedang dibaca. Padahal, masyarakat jauh lebih membutuhkan pemimpin yang kaya gagasan daripada kaya penampilan.
Bagaimana Cara Mendorong Pejabat Gemar Membaca?
Membangun budaya membaca di kalangan pejabat tentu tidak bisa instan. Dibutuhkan langkah nyata, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
- Di tingkat lembaga
Instansi pemerintahan bisa membangun perpustakaan digital atau membuat program diskusi buku secara rutin. Jika rapat bisa dijadwalkan setiap minggu, mengapa diskusi buku tidak bisa? - Di tingkat individu
Pejabat perlu meluangkan waktu membaca setiap hari, meski hanya 30 menit. Satu buku per bulan sudah cukup untuk memperkaya wawasan. Mereka juga bisa membagikan resensi singkat di media sosial sebagai inspirasi bagi masyarakat. - Peran media dan publik
Media bisa memberi sorotan positif pada pejabat yang rajin membaca. Publik juga bisa memberi apresiasi lebih besar kepada pemimpin yang menunjukkan kebiasaan literasi, bukan hanya yang viral karena kontroversi.
Jika langkah-langkah ini dilakukan, literasi bisa tumbuh menjadi budaya yang melekat di birokrasi.
Penutup
Kepemimpinan intelektual adalah kepemimpinan yang lahir dari pengetahuan dan kebijaksanaan. Untuk mencapainya, pejabat publik perlu membangun budaya membaca. Buku bukan hanya hobi, melainkan sumber inspirasi, visi, dan etika dalam memimpin.
Indonesia membutuhkan pejabat yang bukan hanya pandai berorasi, tetapi juga kaya gagasan dan nilai. Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh-tokoh besar dunia telah membuktikan bahwa literasi adalah fondasi kepemimpinan yang sejati.
Dengan membaca, pejabat akan lebih siap menghadapi tantangan zaman, lebih peka terhadap kebutuhan rakyat, dan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Karena itu, sudah saatnya kita menuntut lahirnya pemimpin yang bukan hanya berkuasa, tetapi juga berwawasan---pemimpin yang menjadikan buku sebagai sahabat setia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI