Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belanja Impulsif di Tengah Ekonomi Sulit: Mengapa Masih Sering Terjadi?

13 Juni 2025   16:59 Diperbarui: 13 Juni 2025   16:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belanja online (Foto: Freepik)

Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit---harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja terbatas, dan daya beli menurun---fenomena belanja impulsif justru masih marak terjadi. Banyak orang tetap membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, bahkan terkadang rela berutang demi memenuhi hasrat konsumtif. Mengapa perilaku ini terus terjadi meskipun situasi keuangan sedang tidak stabil?

Dalam tulisan ini akan membahas penyebab utama belanja impulsif di masa ekonomi sulit, pengaruh psikologis dan sosial di baliknya, serta bagaimana kita bisa mengendalikan diri agar tetap bijak dalam mengelola keuangan.

Apa Itu Belanja Impulsif?

Belanja impulsif adalah tindakan membeli sesuatu secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya. Keputusan ini sering kali dipicu oleh emosi, bukan kebutuhan nyata. Contohnya, membeli sepatu karena sedang diskon, meskipun sepatu lama masih layak pakai, atau membeli makanan mahal karena sedang merasa stres.

Meskipun terlihat sepele, belanja impulsif bisa menjadi kebiasaan yang merugikan, terutama saat kondisi finansial sedang tidak mendukung.

Mengapa Belanja Impulsif Tetap Terjadi Saat Ekonomi Sulit?

1. Pelarian Emosional (Emotional Escape)

Ketika tekanan hidup meningkat---entah karena PHK, utang menumpuk, atau harga kebutuhan naik---banyak orang mencari pelarian emosional. Belanja menjadi salah satu bentuk pelampiasan yang instan dan mudah diakses. Menurut psikolog Dr. April Benson, "belanja sering digunakan untuk menenangkan emosi negatif seperti kecemasan, stres, atau kesepian."

Saat kita membeli sesuatu, otak melepaskan hormon dopamin yang memunculkan perasaan senang. Namun, efek ini hanya sementara. Setelah itu, muncul penyesalan, terutama jika pembelian tersebut mengganggu kondisi keuangan.

2. Pengaruh Media Sosial dan Iklan Digital

Algoritma media sosial semakin canggih dalam mengenali preferensi pengguna. Iklan yang muncul di feed kita sering kali sangat relevan dan menggoda. Influencer yang memamerkan produk "wajib punya" membuat kita merasa tertinggal jika tidak ikut membeli. Istilah populer seperti "FOMO" (Fear of Missing Out) sangat berperan dalam memicu pembelian impulsif.

Platform seperti TikTok dan Instagram bahkan menciptakan tren belanja seperti "haul video" yang memamerkan barang belanjaan secara masif. Ini menormalisasi konsumsi berlebih, bahkan di kalangan yang sedang kesulitan ekonomi.

3. Strategi Diskon yang Menjebak

Potongan harga, flash sale, dan gratis ongkir sering kali membuat orang berpikir mereka sedang "berhemat". Padahal, membeli barang yang tidak diperlukan tetap saja merugikan, berapa pun diskonnya. E-commerce memanfaatkan teknik scarcity (jumlah terbatas) dan urgency (waktu terbatas) untuk mendorong keputusan cepat tanpa berpikir panjang.

Menurut sebuah studi dari Journal of Consumer Research, konsumen yang berada dalam tekanan keuangan justru lebih rentan terhadap promosi semacam ini karena mereka merasa mendapat "kesempatan langka" untuk membeli murah.

4. Kurangnya Literasi Keuangan

Banyak orang belum memahami cara membuat anggaran, mengelola prioritas pengeluaran, atau menghitung biaya tersembunyi dari gaya hidup konsumtif. Akibatnya, keputusan belanja lebih didasarkan pada perasaan daripada rasionalitas. Kurangnya pendidikan keuangan sejak dini membuat banyak individu tidak memiliki kontrol terhadap pengeluarannya.

Dampak Buruk Belanja Impulsif

Belanja impulsif yang tidak terkendali bisa berdampak serius, terutama saat keuangan sedang sempit:

  • Utang konsumtif meningkat, terutama melalui paylater dan kartu kredit.
  • Dana darurat tergerus, sehingga tidak siap menghadapi kebutuhan mendesak.
  • Kesehatan mental terganggu, akibat rasa bersalah dan tekanan finansial.
  • Hubungan keluarga bisa retak, jika belanja impulsif menimbulkan konflik keuangan dalam rumah tangga.

Bagaimana Menghindari Belanja Impulsif?

Berikut beberapa strategi praktis agar kita bisa lebih bijak dalam berbelanja di tengah kondisi ekonomi sulit:

1. Buat Anggaran dan Patuhi

Tuliskan kebutuhan bulanan dan tetapkan batas pengeluaran untuk kategori non-prioritas.

2. Tunda Pembelian 24 Jam

Jika tergoda membeli sesuatu, beri waktu 1 hari untuk berpikir ulang. Sering kali, keinginan tersebut akan hilang dengan sendirinya.

3. Hapus Aplikasi Belanja dari Ponsel Kurangi paparan terhadap platform e-commerce dan unfollow akun yang memicu konsumsi berlebih.

4. Prioritaskan Tujuan Keuangan 

Tetapkan target keuangan, seperti menabung dana darurat, membayar utang, atau investasi jangka panjang. Ini bisa memberi motivasi untuk lebih selektif dalam belanja.

5. Edukasi Diri Tentang Literasi Keuangan

Banyak sumber gratis di internet yang bisa membantu memahami cara mengelola uang, mulai dari podcast, e-book, hingga video YouTube.

Penutup

Belanja impulsif di tengah kesulitan ekonomi bukan hanya masalah kebiasaan, tapi juga soal psikologi, budaya digital, dan kurangnya pemahaman finansial. Di era yang serba cepat dan penuh tekanan ini, penting bagi kita untuk lebih sadar dalam membuat keputusan keuangan. 

Mengendalikan belanja bukan berarti mengekang diri, tapi justru membuka peluang untuk hidup lebih tenang dan stabil secara finansial.

Ingat, membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan saat kondisi keuangan sedang sulit bukanlah bentuk self-reward, melainkan potensi beban di kemudian hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun