Belakangan ini, jagat media sosial Indonesia dihebohkan dengan kehadiran dua bocah bersaudara yang menyebut diri mereka Gen Alfarizi. Bukan sekadar konten kreator biasa, mereka tampil sebagai pemburu hantu cilik yang menjelajahi tempat-tempat angker sembari menyampaikan penjelasan ilmiah terkait mitos gaib yang berkembang di masyarakat.
Unik, cerdas, dan berani---konten mereka berhasil menyentil nalar publik dan membuka diskusi baru: Benarkah tempat angker itu benar-benar berhantu, atau sekadar ilusi dari otak manusia?
Fenomena Gen Alfarizi menjadi momentum penting untuk kembali mengupas realitas di balik mitos hantu---bukan dengan pendekatan mistis, tetapi melalui lensa psikologi dan neurosains.
Mengapa Kita Takut pada Hantu?
Ketakutan terhadap hantu merupakan bentuk ketakutan arketipal, yakni rasa takut yang diwariskan secara turun-temurun melalui budaya dan lingkungan sosial. Dalam istilah psikologi, ini disebut sebagai fear conditioning---di mana individu belajar takut melalui cerita, pengalaman orang lain, atau peristiwa yang dikaitkan dengan ancaman tak terlihat.
Namun yang menarik, rasa takut terhadap makhluk halus sering kali muncul di tempat gelap, sunyi, dan asing. Hal ini dijelaskan dalam neurosains sebagai kerja dari bagian otak yang disebut amygdala---pusat emosi yang sangat sensitif terhadap potensi bahaya.
Menurut Joseph LeDoux, seorang ahli neurosains dari New York University, amygdala berperan dalam menimbulkan reaksi "fight or flight" saat seseorang merasa terancam, meskipun ancaman itu tidak nyata. Maka tak heran, saat berada di rumah kosong atau bangunan tua yang remang-remang, otak kita langsung mengaktifkan alarm ketakutan.
Ilusi, Halusinasi, dan Persepsi: Kawan Lama dalam Mitos Gaib
Ketika kita merasa ada "sosok" di sudut ruangan, sering kali itu bukan penampakan nyata, melainkan hasil dari pareidolia---yakni fenomena di mana otak mencoba mengenali pola, seperti wajah, dari benda-benda acak (seperti bayangan, tirai, atau retakan tembok). Ini adalah strategi bertahan hidup otak manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah.
Selain itu, kondisi psikologis seperti kelelahan, stres, insomnia, atau bahkan ekspektasi sosial bisa memicu halusinasi ringan. Misalnya, seseorang yang diberi tahu bahwa suatu rumah berhantu, akan lebih mudah "merasakan" kehadiran entitas mistis karena pengaruh suggestibility.
Penelitian dari University of London menunjukkan bahwa individu yang meyakini keberadaan hantu lebih rentan mengalami sensasi seperti "merasakan kehadiran makhluk lain", padahal itu hanya respons tubuh terhadap sugesti.
Gen Alfarizi: Sains Populer dari Mulut Anak-anak
Di tengah dominasi konten horor yang cenderung menakut-nakuti dan memperkuat stigma, Gen Alfarizi hadir sebagai angin segar. Dalam video-video mereka, dua bocah ini menjelajah tempat yang disebut angker dan justru menyampaikan penjelasan logis dengan bahasa sederhana.