Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membongkar Mitos Hantu Lewat Sains: Pelajaran dari Duo Pemburu Hantu Cilik Gen Alfarizi

18 Mei 2025   12:52 Diperbarui: 18 Mei 2025   12:52 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gen Alfarizi duo kakak beradik pembuat konten memburu mitos hantu penjelasan dari sisi Ilmiah (Foto: Instagram @gen_alfarizi)

Belakangan ini, jagat media sosial Indonesia dihebohkan dengan kehadiran dua bocah bersaudara yang menyebut diri mereka Gen Alfarizi. Bukan sekadar konten kreator biasa, mereka tampil sebagai pemburu hantu cilik yang menjelajahi tempat-tempat angker sembari menyampaikan penjelasan ilmiah terkait mitos gaib yang berkembang di masyarakat.

Unik, cerdas, dan berani---konten mereka berhasil menyentil nalar publik dan membuka diskusi baru: Benarkah tempat angker itu benar-benar berhantu, atau sekadar ilusi dari otak manusia?

Fenomena Gen Alfarizi menjadi momentum penting untuk kembali mengupas realitas di balik mitos hantu---bukan dengan pendekatan mistis, tetapi melalui lensa psikologi dan neurosains.

Mengapa Kita Takut pada Hantu?

Ketakutan terhadap hantu merupakan bentuk ketakutan arketipal, yakni rasa takut yang diwariskan secara turun-temurun melalui budaya dan lingkungan sosial. Dalam istilah psikologi, ini disebut sebagai fear conditioning---di mana individu belajar takut melalui cerita, pengalaman orang lain, atau peristiwa yang dikaitkan dengan ancaman tak terlihat.

Namun yang menarik, rasa takut terhadap makhluk halus sering kali muncul di tempat gelap, sunyi, dan asing. Hal ini dijelaskan dalam neurosains sebagai kerja dari bagian otak yang disebut amygdala---pusat emosi yang sangat sensitif terhadap potensi bahaya.

Menurut Joseph LeDoux, seorang ahli neurosains dari New York University, amygdala berperan dalam menimbulkan reaksi "fight or flight" saat seseorang merasa terancam, meskipun ancaman itu tidak nyata. Maka tak heran, saat berada di rumah kosong atau bangunan tua yang remang-remang, otak kita langsung mengaktifkan alarm ketakutan.

Ilusi, Halusinasi, dan Persepsi: Kawan Lama dalam Mitos Gaib

Ketika kita merasa ada "sosok" di sudut ruangan, sering kali itu bukan penampakan nyata, melainkan hasil dari pareidolia---yakni fenomena di mana otak mencoba mengenali pola, seperti wajah, dari benda-benda acak (seperti bayangan, tirai, atau retakan tembok). Ini adalah strategi bertahan hidup otak manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah.

Selain itu, kondisi psikologis seperti kelelahan, stres, insomnia, atau bahkan ekspektasi sosial bisa memicu halusinasi ringan. Misalnya, seseorang yang diberi tahu bahwa suatu rumah berhantu, akan lebih mudah "merasakan" kehadiran entitas mistis karena pengaruh suggestibility.

Penelitian dari University of London menunjukkan bahwa individu yang meyakini keberadaan hantu lebih rentan mengalami sensasi seperti "merasakan kehadiran makhluk lain", padahal itu hanya respons tubuh terhadap sugesti.

Gen Alfarizi: Sains Populer dari Mulut Anak-anak

Di tengah dominasi konten horor yang cenderung menakut-nakuti dan memperkuat stigma, Gen Alfarizi hadir sebagai angin segar. Dalam video-video mereka, dua bocah ini menjelajah tempat yang disebut angker dan justru menyampaikan penjelasan logis dengan bahasa sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun