Di era digital yang serba terhubung ini, media sosial telah menjadi ruang utama dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat. Namun, di balik layar ponsel dan komputer kita, bekerja algoritma-algoritma yang tidak hanya menentukan apa yang kita lihat, tetapi juga memengaruhi cara kita berpikir dan berinteraksi.
Dalam kuliah umumnya di Universitas Diponegoro Rabu (7/5/2025) seperti dilansir IDN Times 9/5 , pakar politik digital dan media sosial dari Universitas Carleton Kanada, Prof. Merlyna Lim menyebut fenomena ini sebagai jebakan kapitalisme komunikasi---sebuah kondisi di mana algoritma media sosial menciptakan ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya mengendalikan narasi dan interaksi publik.
Algoritma: Penjaga Gerbang Baru dalam Ruang Publik
Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Semakin lama kita menghabiskan waktu di sebuah platform, semakin besar peluang platform tersebut untuk menjual data kita kepada pengiklan. Dengan kata lain, perhatian kita adalah komoditas.
Prof. Merlyna Lim menyatakan bahwa algoritma telah menjadi bentuk kekuasaan baru yang bekerja senyap namun sangat efektif. Ia tidak hanya menyaring konten, tetapi juga membentuk enklave algoritmik---ruang-ruang informasi tertutup yang memperkuat pendapat sendiri dan melemahkan keragaman pandangan. Akibatnya, masyarakat semakin terpolarisasi dan sulit membangun dialog lintas perbedaan.
Viralitas Menggantikan Substansi
Dalam logika kapitalisme digital, yang bernilai adalah apa yang menarik perhatian, bukan apa yang bermakna. Maka tak heran jika konten yang sensasional, provokatif, atau bahkan hoaks lebih mudah menyebar dibandingkan informasi faktual yang argumentatif.
Kondisi ini menciptakan jebakan komunikasi, di mana pengguna media sosial---baik individu, jurnalis, hingga politisi---terpaksa menyesuaikan diri dengan algoritma demi menjangkau audiens yang lebih luas. Akibatnya, kualitas diskursus publik menurun. Narasi dangkal dan politik identitas menjadi senjata utama, sementara diskusi berbasis data dan rasionalitas semakin tersingkir.
Netralitas Teknologi adalah Ilusi
Salah satu kesalahpahaman terbesar di era digital adalah anggapan bahwa teknologi bersifat netral. Faktanya, algoritma diciptakan oleh manusia, dengan logika dan kepentingan tertentu---terutama logika kapitalistik yang menempatkan profit di atas kepentingan publik.
Prof. Merlyna menekankan bahwa tidak ada yang "netral" dalam platform digital. Apa yang kita lihat di beranda bukanlah hasil pilihan bebas, melainkan hasil kalkulasi mesin yang memprioritaskan konten-konten tertentu berdasarkan keuntungan komersial.
Demokrasi dalam Cengkeraman Platform
Ketika algoritma lebih berperan dalam membentuk opini publik dibandingkan lembaga pendidikan atau media independen, maka demokrasi berada dalam bahaya. Kebebasan berekspresi tetap ada, tapi terkungkung dalam logika popularitas dan monetisasi. Kebebasan yang seolah tanpa batas itu sebenarnya bersyarat: konten harus menarik, mudah dikonsumsi, dan bisa dijual.
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, fenomena ini makin kompleks dengan lemahnya literasi digital masyarakat. Polarisasi politik, penyebaran disinformasi, dan kampanye hitam berbasis buzzer menjadi gejala umum yang muncul akibat ketimpangan pemahaman terhadap cara kerja algoritma.