Penggunaan rokok elektrik atau vape di kalangan remaja Indonesia terus meningkat secara signifikan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok elektrik usia 10--18 tahun meningkat dari 1,2% pada 2016 menjadi 10,9% pada 2018.Â
Data ini diperkuat oleh Kementerian Kesehatan RI (2023) yang menyebutkan bahwa akses remaja terhadap vape semakin mudah, baik secara daring maupun luring. Fenomena ini mengkhawatirkan, mengingat dampak jangka panjang vape terhadap kesehatan belum sepenuhnya diketahui, dan kandungan nikotinnya berpotensi menimbulkan adiksi yang serius.
Ancaman Kesehatan di Balik Vape
Meski sering diklaim lebih "aman" dibandingkan rokok konvensional, rokok elektrik mengandung nikotin, propilen glikol, gliserin, dan bahan kimia aditif lainnya yang jika dipanaskan dapat menghasilkan senyawa berbahaya seperti formaldehida dan asetaldehida (WHO, 2022). Paparan zat-zat ini berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan, kerusakan paru, bahkan mengganggu perkembangan otak remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan (CDC, 2021).
Tak hanya itu, penelitian dari The New England Journal of Medicine (2020) menyebutkan bahwa penggunaan vape secara rutin dapat menurunkan kapasitas paru dan meningkatkan risiko EVALI (E-cigarette or Vaping product use Associated Lung Injury).
Mengapa Remaja Rentan?
Remaja berada dalam fase eksplorasi identitas dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial, tekanan teman sebaya, serta media sosial. Studi Kementerian Kesehatan (2023) mengungkapkan bahwa 3 dari 5 remaja mencoba vape karena rasa penasaran, disusul oleh pengaruh teman (30%) dan iklan yang menarik (20%).
Vape dengan desain menarik, rasa manis, dan aroma buah-buahan memberi kesan "tidak berbahaya" dan "trendy". Ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya pencegahan.
Strategi Pencegahan: Pendekatan Multi-Level
1. Edukasi Komprehensif Berbasis Sekolah
Pendidikan tentang bahaya rokok elektrik harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan kesehatan. Guru dan tenaga pendidik perlu dilatih untuk memberikan pemahaman yang akurat, berbasis sains, dan tidak menggurui. Sekolah dapat membentuk "Duta Anti Vape" yang melibatkan siswa sebagai agen perubahan.
Studi oleh Universitas Gadjah Mada (2022) menunjukkan bahwa intervensi edukasi di sekolah menurunkan keinginan mencoba vape sebesar 40% dalam tiga bulan.
2. Keterlibatan Keluarga dan Komunitas
Keluarga memegang peran penting dalam pencegahan awal. Orang tua perlu dibekali informasi tentang bahaya vape dan pentingnya menjadi teladan. Komunikasi terbuka, pengawasan, dan kedekatan emosional terbukti efektif dalam mencegah perilaku menyimpang remaja (BKKBN, 2023).
Komunitas lokal juga dapat menginisiasi kampanye "Kampung Bebas Vape" sebagai gerakan kolektif mencegah akses remaja terhadap produk ini.