Kualitas makanan yang disediakan adalah masalah lain yang tidak kalah penting. Nama program ini berasal dari kata "bergizi", yang secara langsung berjanji bahwa makanan yang diberikan kepada anak-anak akan tidak hanya mengenyangkan tetapi juga sehat, seimbang, dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Tetapi fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Menu makanan yang disediakan monoton dan sangat terbatas. Siswa biasanya hanya diberi nasi, telur dadar, dan sayur tumis. Dalam beberapa hari, sosis atau nugget instan menggantikan lauk. Meskipun mereka mengandung protein, ini tidak memenuhi kebutuhan gizi Anda. Ini lebih buruk lagi jika makanan Anda kekurangan susu, buah, atau sumber serat lainnya.
Program ini bisa menjadi bumerang jika anak-anak terus-menerus makan makanan yang tidak variatif dan kurang nutrisi. Mereka mungkin kenyang, tetapi mereka kekurangan zat gizi penting untuk pertumbuhan. Hal ini dapat berdampak pada daya tahan tubuh, kemampuan belajar, dan kesehatan mental anak dalam jangka panjang.
Jangan Sampai Hanya Gagah di Spanduk
Banyak sekolah di Kota Bandung saat ini memiliki spanduk besar bertuliskan "Sekolah Ini Mendukung Program Makan Bergizi Gratis". Di pojok kiri spanduk, logo Pemerintah Kota Bandung tercetak dengan jelas, dan kata-kata manis seperti "Terima kasih atas kepeduliannya pada masa depan anak-anak bangsa". Sekilas terlihat membanggakan, dan beberapa terlihat seperti bukti bahwa program berjalan dengan baik.
Tapi narasinya bisa sangat berbeda ketika kita masuk ke sekolah dan melihat situasi di lapangan. Baliho berwarna-warni itu menunjukkan bahwa banyak siswa harus terburu-buru untuk makan karena makanan belum tiba. Mengantre makanan yang belum tentu datang tepat waktu malah menghabiskan waktu istirahat yang seharusnya digunakan untuk bersantai atau berkumpul dengan teman.
Selain itu, menu seringkali tetap sama dari hari ke hari. Anak-anak dapat makan lauk yang sama tiga atau empat kali dalam satu minggu. Ada waktu-waktu ketika hanya nasi, telur dadar, dan sedikit tumis sayur yang digunakan. Beberapa anak bahkan mampu mengingat urutan menu. Kondisi seperti ini pasti mengecewakan bagi mereka yang pergi ke sekolah setiap hari untuk mendapatkan makanan sehat.
Yang lebih lucunya, beberapa guru takut mengeluh tentang hal ini karena mereka takut dianggap tidak berterima kasih atau tidak mendukung program pemerintah. Kritik yang membangun, sebaliknya, seharusnya digunakan sebagai alat untuk evaluasi daripada dianggap sebagai penghalang untuk kemajuan. Kita berhak untuk menyuarakan ketidakpuasan jika tindakan tidak sesuai harapan demi kepentingan siswa.
Program MBG bukanlah acara promosi di media sosial yang diakhiri dengan foto-foto seremoni. Pemerintah telah "berbuat sesuatu" bukan masalah citra. MBG berkaitan dengan masalah perut anak-anak. Selain itu, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa proyek yang lebih kompleks, seperti peningkatan pendidikan atau kesehatan, akan berjalan dengan baik jika hanya masalah makan yang tidak dapat dikelola dengan baik?
Anak-anak tidak peduli siapa yang memasang spanduk atau memotong pita saat peresmian program. Satu-satunya hal yang mereka pedulikan adalah apakah mereka makan makanan yang layak hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI