Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Amputasi Jabatan" Sebabkan Post Power Syndrome

31 Mei 2016   02:20 Diperbarui: 31 Mei 2016   05:00 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Post Power Syndrome

Ketika perawat mengantarkan berkas rekam medis seorang klien, saya langsung terhenyak. Tebal banget nih berkasnya? Sakit apa aja? Penasaran, saya buka-buka sebelum klien masuk ruangan. Wow.. aneka rupa penyakit mampir di sana. Tidak lama, saya persilakan klien masuk ruangan. Seorang bapak yang masih tampak gagah, rambutnya beruban, berusia kurang lebih 70 tahunan. Didampingi istrinya yang ramah.

Menurut cerita si bapak, sejak ia pensiun setahun lalu, kondisi kesehatannya menurun. Sakit bergantian, mulai dari ujung kepala sampai kaki. Sebelum pensiun, ia memegang jabatan cukup tinggi di perusahaan negara. Beberapa proyek pernah dikerjakan sebagai hasil pemikirannya. Anak buahnya cukup banyak, lebih dari 500 orang. Kegiatannya saat ini mengurus rumah kos-kosan. Keluhannya datang konsultasi karena ia merasa cemas, takut, dan bingung padahal ia tidak merasa ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Finansial tercukupi, anak-anak sudah mapan, istri mendukung kegiatannya, bahkan sakitnya pun tidak dirasakan berat.

Ya, itulah gejala Post Power Syndrome(PPS). Apa sih PPS itu? Secara garis besar, PPS adalah kondisi ketidakmampuan individu beradaptasi secara psikologis dengan masa pensiun, yang berakibat pada gangguan pada fisik, psikis, sosial maupun spiritual. Penyesuaian diri pada masa pensiun akan makin berat bila individu tersebut memiliki jabatan/posisi/kekuasaan/simbol sukses lainnya sebelum pensiun.

Masa transisi dari bekerja ke masa pensiun ini mirip seperti orang yang baru diamputasi. Mereka merasakan sensasi rasa nyeri seolah-olah bagian tubuh yang diamputasi masih ada, namanya Phantom Pain. Atau kalau kita mengikat jari kita dengan karet gelang cukup kuat, lalu melepaskan karet itu, rasa terikat karet itu masih ada. Fenomena itulah yang terjadi pada para pensiunan. Mereka masih merasa seolah-olah punya jabatan, masih merasa "mengenakan" jubah kekuasaan. Mereka masih dibayang-bayangi keberhasilan masa lalu. Mereka kaget, tiba-tiba saat ini mereka bukan siapa-siapa lagi.

Fenomena mirip Phantom Pain ini bisa diamati di sekitar kita. Pernahkah Anda melihat seorang mantan pejabat negara yang senang sekali membandingkan keberhasilan masa lalunya dengan periode kepemimpinan saat ini? Kata-kata favorit yang sering digunakan biasanya adalah “Kalau jaman saya dulu….”, “Dulu saya lakukan… sekarang ini mereka tidak…”,dan sebagainya. Malah ada yang setiap hari masih mengenakan seragam sebagaimana dia dulu. Masih bertindak seolah-olah penguasa di mana pun berada, yang dapat dipersepsikan orang lain sebagai bentuk arogansi. Malah menghadirkan cemoohan, “Nggak tahu diri tuh, sudah nggak menjabat tapi minta dihormati”.

Mengapa Orang Mengalami Post Power Syndrome?

Ada orang yang mengalami, tapi ada juga yang tidak terlalu menunjukkan gejala PPS. Apa sih yang sebenarnya terjadi pada diri para pensiunan tersebut?

Bagi orang yang tadinya punya posisi tertentu, hilangnya rasa dihargai dan dibutuhkan merupakan sumber dari sulitnya beradaptasi pada masa transisi ini. Bila pada masa aktif menjabat, hampir setiap hari ia menangani berbagai persoalan, kini seolah-olah tidak ada lagi yang membutuhkan dirinya. Kalau dulu seringkali mendapatkan sapaan penuh hormat, kini tukang sayur pun seolah enggan menyapa. Dulu bingkisan hari raya berdatangan bagaikan nyamuk di musim nyamuk (emang ada?), sekarang sebotol kopi pun dikirimkan oleh warung sebelah dengan catatan : boleh bayar bulan depan.

Faktor penyebab lainnya adalah kehilangan sumber pendapatan. Kalau dulu ada penghasilan tetap beserta tunjangan setiap bulan, kini tidak ada lagi. Uang pensiun bukanlah sesuatu yang membanggakan karena jumlahnya sedikit. Mau tidak mau, perubahan gaya hidup terpaksa dilakukan. Di sinilah terasa beban beratnya. Mengubah gaya hidup itu nggak gampang lho. Biasa makan lobster, eh sekarang terpaksa makan ikan pindang plus nasi hangat saja, itu menurunkan gengsi sampai pada titik malu terendah. Bisa jadi perut ikutan berulah. Susah khan…

Pekerja aktif biasanya punya jadwal kerja sistematis dan terencana. Ketika pensiun, mereka kehilangan orientasi pekerjaan. Mau ngapain ya? Bingung. Bangun pagi tidak perlu tergesa-gesa. Hari demi hari terasa berjalan lambat. Kalau dulu sewaktu bekerja, jarum jam bergerak setara mobil F1. Sekarang? Mereka seolah-olah bisa mendengar bunyi detak detik per detik. Lamaaaaa…sekali untuk sampai pada hari berikutnya. Bila ini terjadi, lambat laun individu tersebut merasakan hampa dalam hidupnya. Tidak ada target yang dikejar, tidak ada argumentasi habis-habisan untuk memenangkan ide, dan tidak ada lagi tenggat waktu yang harus dipenuhi.

Pada orang-orang yang meletakkan identitas dirinya pada jabatan/kekayaaan/simbol sukses lainnya lebih rentan mengalami PPS. Ketika jabatan/kekayaan/simbol suksesnya hilang, ia menjadi individu "telanjang". Identitas dirinya mendadak hilang. Dirinya kosong. Muncul pertanyaan pada diri, “Siapakah aku?”. Mereka merasa tidak berarti, apalagi bila orang-orang di sekitarnya tidak menunjukkan rasa hormat seperti biasanya. Makin berat masa adaptasi ini baginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun