Mohon tunggu...
Nafi Maula Arza
Nafi Maula Arza Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Sains Data Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Antara ChatGPT dan Diri Sendiri: Mahasiswa di Persimpangan Kemudahan dan Ketergantungan

12 Oktober 2025   21:00 Diperbarui: 11 Oktober 2025   21:10 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Setiap generasi punya cara belajar yang berbeda. Dulu, mahasiswa harus membuka lembaran buku, menandai kalimat penting dengan stabilo, dan berdiskusi berjam-jam di kantin kampus. Kini, cukup dengan satu perintah pada layar, semua jawaban datang dalam hitungan detik. Nama-nama seperti ChatGPT, Gemini, dan Copilot bukan lagi istilah asing, mereka telah menjadi "teman belajar" baru yang tak kenal lelah.

Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam, yaitu apakah mahasiswa hari ini masih benar-benar berpikir? Ataukah kita hanya menyalin logika mesin dan mengakuinya sebagai hasil pemikiran sendiri? Di antara rasa ingin tahu dan rasa malas, mahasiswa zaman ini berjalan di garis tipis antara belajar dan sekadar menyalin.

Teknologi selalu datang dengan dua wajah. Ia membuka peluang, tapi juga menutup ruang refleksi. ChatGPT, misalnya, mampu menjawab pertanyaan rumit dalam hitungan detik. Tapi di sisi lain, ia juga bisa membuat kita berhenti bertanya. Jika semua jawaban sudah tersedia, untuk apa lagi bersusah payah berpikir? Banyak mahasiswa merasa lebih produktif karena bantuan AI. Tugas selesai cepat, presentasi rapi, dan laporan terlihat ilmiah. Tapi di balik semua itu, muncul gejala baru: ketergantungan yang tidak disadari. Mahasiswa mulai kehilangan rasa ingin tahu yang sejati. Logika kritis digantikan oleh rasa percaya pada teks yang dihasilkan mesin, seolah setiap jawaban dari algoritma adalah kebenaran mutlak.

Ironisnya, semakin sering kita bergantung pada AI, semakin tumpul pula kepekaan akademik kita. Diskusi di kelas terasa hambar, ide orisinal semakin jarang muncul, dan kemampuan berpikir analitis perlahan memudar. Kita terbiasa mencari solusi instan, tapi lupa menikmati proses menemukan makna. Para dosen pun menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi, mereka tahu mahasiswa perlu mengenal teknologi terkini. Namun di sisi lain, mereka mulai kesulitan membedakan antara karya manusia dan karya mesin. Apakah tugas yang rapi dan sistematis benar-benar hasil belajar, atau sekadar hasil salinan canggih dari ChatGPT?

Lebih dari sekadar soal plagiarisme, persoalan ini menyentuh inti dari pendidikan itu sendiri, yaitu apakah tujuan belajar hanya untuk menghasilkan jawaban, atau untuk memahami pertanyaan? Jika pendidikan berubah menjadi sekadar kompetisi efisiensi, maka teknologi akan menggantikan manusia bukan karena lebih cerdas, tetapi karena manusia berhenti berpikir. Kita tentu tidak bisa menolak kemajuan. AI hadir bukan untuk dimusuhi, tetapi untuk dipahami. Masalahnya bukan pada alatnya, melainkan pada cara kita memakainya. Mahasiswa perlu membangun kesadaran baru, yaitu menggunakan teknologi bukan sebagai pengganti pikiran, melainkan sebagai pelengkap nalar.

Alih-alih menanyakan, "apa jawaban yang benar?", mungkin kita perlu mulai bertanya, "mengapa jawaban itu benar?". ChatGPT dapat membantu menyusun argumen, tapi tidak bisa menggantikan pengalaman berpikir, kebingungan, dan pencarian yang membuat proses belajar menjadi bermakna. Di sanalah manusia tetap unggul, pada kemampuan untuk meragukan, merasa, dan memahami konteks. Dalam dunia akademik yang semakin otomatis, berpikir manual justru menjadi bentuk perlawanan. Membaca buku dari halaman pertama hingga akhir, menulis dengan bahasa sendiri, atau berdiskusi tanpa bantuan mesin, semuanya tampak lambat, tapi sesungguhnya di sanalah letak keaslian intelektual kita diuji.

Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperluas wawasan, bukan mempersempitnya. Mahasiswa perlu memandang AI seperti cermin, ia memantulkan cara kita berpikir, bukan menggantikannya. Ketika kita berhenti bertanya dan hanya menerima, saat itulah kita kehilangan esensi kemanusiaan dalam belajar. AI memang membuat hidup mahasiswa jauh lebih mudah. Tapi di antara kemudahan itu, kita juga harus berani menjaga jarak. Karena berpikir bukan soal cepat atau lambat, melainkan soal berani mencari, memahami, dan menafsirkan dunia dengan sudut pandang sendiri.

Di era serba instan ini, mungkin berpikir pelan justru adalah bentuk perlawanan paling manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun