PENDAHULUAN
Allah telah menurunkan syariat terakhir kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki ciri khas rasional dibekali wahyu sebagai sumber rujukan guna menjadikan agama ini sebagai jalan yang lurus mencapai kebenaran di sisi Allah. Rasionalitas Islam sangat kontras pada eksistensi Al-Qur'an sebagai kitab suci yang sarat dengan tantangan dan corak pengetahuan.
Pada tataran berikutnya, hukum Islam kemudian menjadi sangat rasional karena Al-Qur'an sangat sarat dengan pesan penghormatan terhadap akal. Membuktikan eksistensi rasionalitas Islam dalam hukum dapat diperhatikan pada sumber alasan hukum yang dikenal dengan dalil. Semua Imam mazhab dalam upaya ijtihad mereka senantiasa menempatkan Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber utama dan menjadikan dalil ijtihadi (dalil rasional) pada urutan selanjutnya.
Di antara empat aliran mazhab dalam Islam, salah satu diantaranya memiliki kecenderungan menggunakan dalil rasional dibandingkan hadis aad. Mazhab ini kemudian dikenal sebagai mazhab yang sangat rasional dibandingkan dengan tiga mazhab lainnya. Eksistensi mazhab rasional dalam hukum Islam telah melahirkan problematika baru dalam diskursus hukum. Perbedaan mencolok terjadi pada seberapa jauh toleransi akal menghadapi eksistensi wahyu dalam mengelaborasi hukum Islam. Timbul pula masalah lain yaitu seberapa kuat wahyu meniadakan fungsi akal (rasio) dalam penerapan hukum.
Namun sebenarnya wahyu dan akal tidak bisa dipisahkan karena keduanya yang akan menjadi jalan kita menggali sebuah hukum. Wahyu sebagai Peta untuk menunjukan kebenaran syariat dan akal adalah legendanya yang menunjukkan pengertian dan rasionalisasi tentang Peta itu sendiri. Maka sudah seharusnya dua hal tersebut harus selalu beriringan dalam menjelaskan syariat.
DEVINISI AKAL dan WAHYU
Secara bahasa atau Lughowi, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,'aqala yang berarti mengikat atau menahan, namun kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari 'aqala tidak terdapat dari Al-Qur'an, akan tetapi kata akal sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (fi'il mudhorik).
Hal itu terdapat dalam al-Qur.an sebanyak empat puluh sembilan, antara lain iyalah ta'qilun dalam surat al-Baqaroh ayat 49; ya'qilun sural al-Furqan ayat 44 dan surah yasin ayat 68; na'qilu surat al-Mulk ayat 10; ya'qiluha surat al-Ankabut ayat 43; dan aqiluha surt al-Baqrah ayat 75.disisi lain dalam al- Qur'an selain kata 'aqala yang menunjukan arti berfikir adalah nazhara yang berarti melihat secara abstrack.
Sebanyak 120 ayat; tafakara yang berarti berfikir terdapat pada 18 ayat; faqiha yang berarti memahami sebanyak 20 ayat; tadabara sebanyak 8 ayat dan tadzakara yang berarti mengingat sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut sejatinya masih berkaitan dengan pengertian dari kata akal tersebut. Dalam kamus bahasa Arab kata 'aqala berarti mengikat atau menahan. Maka tali pengikat serban, yang di pakai di Arab Saudi memiliki warna beragam yakni hitam dan terkadang emas, disebut 'iqala; dan menahan orang di dalam penjara i'taqala dan tempat tahanan mu'taqal.
Baca juga: Sejarah Etos Kapitalistik Kaum Quraisy Mekah hingga Diturunkannya Wahyu Ilahi
Dalam komunikasi atau lisan orang Arab. Dijelaskan bahwa kata al'aqal berati menahan dan al-'aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Banyak makna yang diartikan tentang 'aqala . sejatinya asli kata 'aqala ialah mengikat dan menahan dan orang 'aqil di zaman Jahiliyah dikenal dengan hamiyah atau darah panas, maksudnya ialah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah.