Perdebatan tentang boleh tidaknya Hakim perempuan sudah muncul sejak zaman ulama-ulama mazhab. Apabila dirunut pendapat yang membolehkan hakim perempuan dipelopori oleh Ibnu Jarir ath-Thobari yang memiliki pandangan bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam profesi sebagai hakim. Beliau menqiyaskan dari mukadimah sughra bahwa ulama sepakat kebolehan menjadi mufti, maka seharusnya perempuan juga bisa menjadi seorang hakim. Namun demikian bahwa perselisihan ulama tentang persyaratan menjadi hakim juga tidak bisa kita kesampingkan.
Ya.... Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu jilid 4 halaman 481 menyebutkan bahwa ulama mazhab semuanya sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Namun mereka berbeda pendapat tentang syarat keadilan (kesalihan), jenis kelamin, dan kemampuan berijtihad. Inilah yang menjadikan peluang perempuan untuk menjadi hakim terbuka lebar.
Dikuatkan lagi dalam UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut seperti nash umum untuk memberikan kesempatan dan peluang kepada para perempuan yang memiliki persyaratan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa untuk menjadi calon hakim Pengadilan Agama, disyaratkan: 1) WNI, 2) Islam, 3) bertakwa kepada Tuhan YME, 4) Setia kepada Pancasilan dan UUD 1945, 5) Sarjana Syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, 6) sehat jasmani dan rohani, 7) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, 8) bukan bekas anggota PKI, 9) paling rendah 25 tahun. (bunyinya mungkin tidak sama dengan isi pasal yang dimaksud, hanya intinya saya kira sama). Tidak disebutkan harus laki-laki kan?
Logika berfikirnya adalah: Ulama masih berbeda pendapat tentang syarat menjadi hakim adalah laki-laki. Artinya masih ada kesempatan memakai pendapat yang membolehkan perempuan menjadi Hakim. UUD RI 1945, UU Nomor 3 Tahun 2006 dan regulasi lainnya tidak mempersyaratkan jenis kelamin dalam syarat untuk menjadi calon hakim.
Nah, sekarang sudah dapat difahami kan, kenapa di Pengadilan Agama sendiri, dipimpin oleh perempuan adalah hal yang wajar. Saya tidak tahu ada implikasi apa terhadap putusan yang dihasilkan. Namun sepanjang analisis saya, dipimpin oleh laki-laki atau perempuan di pengadilan agama, tidak menyebabkan putusan atau penetapan tidak sah secara hukum. Juga dari pandangan isu gender, HAM, dan lain-lain "memaksa" untuk perempuan dapat diangkat menjadi pimpinan, memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berkarier di kepemerintahan dan sebagainya.
Selanjutnya, bagaimana jika sebuah KUA dipimpin oleh seorang perempuan juga?? Saya kira kita bahas dalam kelanjutan dari artikel ini PART 2. (MN)