Mohon tunggu...
Naffisha Parasdya
Naffisha Parasdya Mohon Tunggu... universitas mercu buana

43225010064- S1 Akuntansi- Fakultas Ekonomi dan Bisnis- Universitas Mercu Buana- Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB- Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M,Si, Ak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berfikir Positif Tentang Kehidupan

16 Oktober 2025   22:08 Diperbarui: 16 Oktober 2025   22:08 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://docs.google.com/presentation/d/1NxTkQ7qrotV6blxt13-KTEe_OJpyE1B_/edit?usp=sharing&ouid=100149006473150013732&rtpof=true&sd=true

Sumber : Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berpikir Positif  Tentang Kehidupan 

Latar Belakang 

memperkenalkan lima pemikir besar yang berkontribusi pada pemahaman tentang pengendalian diri dan pemikiran positif.

Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kita tidak dapat menganalisis perilaku orang lain, tetapi selalu dapat menganalisis tindakan dan reaksi kita sendiri. Penderitaan tidak timbul dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari cara kita menafsirkannya. Dengan belajar menjadi tenang, rasional, dan positif, kita dapat mencapai eudaimonia (kebahagiaan sejati) yang tidak terpengaruh oleh kondisi eksternal. Filsafatnya menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menghindari hal-hal di luar kendali kita.

Epictetus mengajarkan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan mental---kemampuan untuk memilih respons kita terhadap apapun yang terjadi. Ajaran intinya adalah membedakan antara apa yang ada dalam kendali kita (pikiran, sikap, nilai-nilai, tindakan kita) dan apa yang di luar kendali kita (peristiwa eksternal, tindakan orang lain, masa lalu dan masa depan). Kutipan terkenalnya: "Bukan yang terjadi pada kita yang penting, tetapi bagaimana kita meresponsnya." Dengan fokus pada yang dapat kita kendalikan dan menerima dengan tenang hal-hal di luar kendali, kita meraih kebebasan dan ketenangan batin sejati bahkan dalam keadaan paling sulit sekalipun.

Friedrich Nietzsche, melalui pemikirannya yang ekstrem, mengembangkan filsafat hidup yang paling afirmatif. Ia mengajarkan konsep "amor fati" (mencintai takdir), yang tidak hanya tentang menjadi orang baik tetapi juga tentang mengenali dan memahami semua aspek kehidupan, termasuk penderitaan. Menurut Nietzsche, penderitaan dan tantangan adalah esensial bagi perkembangan manusia. Ia membahas konsep "bermensch" (Manusia Unggul), yang merujuk pada individu yang mengembangkan nilai-nilai mereka sendiri dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pikiran positif menurut Nietzsche bukanlah optimisme naif; melainkan menyampaikan rasa ketangguhan di hadapan kesulitan dan memiliki sikap "ya" terhadap keberadaan.

William James menjelaskan bahwa kejernihan mental dan pengendalian diri memiliki implikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ia dikenal karena teori "berindak seolah-olah", yang menyatakan bahwa dengan bertindak seolah-olah kita percaya diri, positif, atau memiliki kualitas tertentu, kita dapat mengubah persepsi dan realitas kita. Filsafat pragmatisnya menyatakan bahwa dasar dari suatu keyakinan dapat ditemukan dalam penerapan praktisnya. Jika pemikiran positif menghasilkan hasil yang lebih baik dalam hidup kita---kesehatan mental yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, dan pencapaian yang lebih banyak---maka hal itu "benar" dalam arti praktis. James juga mengajarkan bahwa tindakan dapat mempengaruhi emosi: kita tidak perlu merasa bahagia untuk berperilaku bahagia; jika kita melakukannya, perasaan bahagia akan mengikuti. Ini adalah dasar dari psikologi kognitif modern.

Albert Ellis mengembangkan Model A-B-C, yang menggambarkan bagaimana emosi kita bekerja: A (Peristiwa Pemicu)---peristiwa yang terjadi; B (Keyakinan)---keyakinan/interpretasi terhadap peristiwa tersebut; C (Akibat)---akibat emosional dan praktis. Prinsip utama teori ini: "Bukan peristiwa yang mengganggu kita, tetapi pandangan kita terhadap peristiwa tersebut." Ellis menjelaskan bahwa banyak masalah emosional berasal dari keyakinan irasional seperti "Saya harus sempurna dalam segala hal", "Semua orang harus menyukai saya", "Kehidupan harus adil dan mudah", atau "Saya tidak bisa bahagia kecuali kondisi X terpenuhi". Kita dapat menciptakan pola pikir yang lebih positif dan sehat dengan mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang keyakinan irasional ini dengan nilai-nilai yang lebih realistis, rasional, dan fleksibel.

 https://docs.google.com/presentation/d/1NxTkQ7qrotV6blxt13-KTEe_OJpyE1B_/edit?usp=sharing&ouid=100149006473150013732&rtpof=true&sd=true
 https://docs.google.com/presentation/d/1NxTkQ7qrotV6blxt13-KTEe_OJpyE1B_/edit?usp=sharing&ouid=100149006473150013732&rtpof=true&sd=true

mendalami ajaran Marcus Aurelius tentang pengendalian internal versus eksternal. Marcus Aurelius menjelaskan bahwa kekuatan bergantung pada kemampuan kita untuk menganalisis pikiran dan reaksi internal, bukan pada kemampuan kita untuk mengevaluasi kondisi eksternal. Menurut filsafat Stoiknya, penderitaan tidak timbul dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari analisis dan interpretasi kita terhadap peristiwa yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun