Mohon tunggu...
Nadya Syafira Nurul Izra
Nadya Syafira Nurul Izra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mungkin kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengubah masa depan untuk hidup lebih baik lagi. Dan masa depan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diiringi dengan Doa dan Usaha. Maka berdoa lah yang baik-baik dan berusahalah sebaik mungkin. Selain itu perbanyak bersyukur karena dalam dengan perbanyak bersyukur maka hidup akan terasa tenang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Pemberitaan Media dalam Membentuk Persepsi Publik terhadap Minoritas di Indonesia

18 Juni 2021   18:50 Diperbarui: 18 Juni 2021   19:44 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia saat ini mengalami perkembangan terkait keterbukaan informasi. Seperti yang telah banyak diketahui bahwa pada masa sebelum reformasi, keterjangakauan terhadap informasi sangat minim terlebih lagi pemerintah berperan terhadap keterbatasan informasi ini. Setelah reformasi, informasi terbuka sangat luas ditambah lagi dengan kemajuan media digital yang mempercepat tersebarnya berbagai macam informasi. Media digital dan segala kemudahannya sedikit demi sedikit mengubah perilaku manusia dalam mencari dan menemukan informasi.

Peran media sebagai salah satu bagian dari pers terhadap persepsi publik tentang minoritas berpotensi penting dalam kaitannya dengan sikap dan keyakinan masyarakat (Nuswantoro, 2017). 

Minoritas yang dimaksud disini adalah berkaitan dengan suku, agama, atau gender tertentu. Apakah masyarakat umum mendukung mengenai keberadaan minoritas, atau apakah media menimbulkan persepsi negatif tentang para minoritas tersebut? Apakah pengaruh media massa secara keseluruhan baik atau buruk? Pertanyaan tersebut memang belum memiliki jawaban pasti. Namun dari sudut pandang tertentu, meskipun harus diakui bahwa media massa telah memberikan banyak kontribusi yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat, namun keseluruhan pengaruh itu belum tentu sehat.

Salah satu cara terbesar pers mempengaruhi opini publik adalah melalui pemberitaan. Pers yang dapat melaporkan peristiwa lokal dan dunia, sering kali menerapkan sikap bias dalam agenda mereka masing-masing. Pemberitaan kejahatan oleh media lebih sering ditampilkan kepada publik melalui dua cara yaitu kejahatan kekerasan dan kejahatan yang bersifat rasisme (Gilliam & Iyengar, 1997). Misalnya dalam sebuah pemberitaan kejahatan, media lebih focus memberitakan tentang agama atau suku dari si pelaku kejahatan tersebut. 

Sebagai contoh, kasus terror bom bunuh diri yang terjadi di Makassar pada bulan Maret 2021 lalu (Priatmojo & Maulina, 2021). Banyak media memberitakan kasus tersebut dengan menitik beratkan pada latar belakang agama pelaku. Yang hal ini tentunya sedikit atau banyak dapat memunculkan stigma di masyarakat akan agama tertentu. Mungkin hal-hal seperti ini pula yang menyebabkan baik di Indonesia maupun di dunia barat bahwa terorisme identik dengan satu kelompok dan agama tertentu saja. Hal ini dapat terjadi sebagai wujud pembentukan persepsi public yang berhasil dilakukan oleh media.

Bentuk bias lainnya dapat ditemui dalam bias terhadap gender. Diketahui media di Indonesia hingga saat ini masih sering melakukan bias gender dalam kegiatan jurnalistik yang dilakukan (Madrim, 2019). Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, misalnya budaya patriarki yang masih kental ataupun kurangnya representasi perempuan dalam jurnalistik Indonesia. 

Media massa pada umumnya juga melakukan bias gender terhadap pemberitaan laki-laki dan perempuan dalam ruang publik. Misalnya apabila laki-laki digambarkan dengan berita mengenai politik, hukum, pemerintahan dan sebagainya, namun perempuan diberitakan terkait isu domestik misalnya kecantikan, anak, kosmetik, dan sebagainya. Sehingga hal ini menunjukkan ketidakseimbangan yang terjadi. Sehingga secara tidak langsung, hal tersebut dapat menunjukkan bahwa perempuan dieksploitasi sebagai sikap ketidakadilan terhadap mereka (Bungin, 2015)

Pemberitaan dari media yang menimbulkan gagasan khusus terkait gender ini kemudian sekaligus menggiring opini bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perilaku dan kekuatan berbeda yang memiliki sifat alami dalam membatasi keduanya dalam wilayah tertentu. Sehingga, anggapan bahwa sebuah tanggung jawab dan ketertiban umum terhadap masing-masing gender harus selalu sesuai dengan kekuatan atau kemampuan yang mereka kuasai. Sehingga, ketika seorang perempuan memutuskan untuk maju dan keluar ke ranah public, misalnya dalam hal hukum, politik, dan pemerintahan, maka hal tersebut dianggap sebagai sebuah anomali (UN, 2019).

Berbagai sikap bias dalam pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa Pers belum sepenuhnya melaksanakan perannya sebagai kontrol informasi dalam masyarakat. Mengacu pada pasal 6 UU no. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan bahwa peran pers nasional adalah memberikan hak pengetahuan dan pengembangan pendapat umum kepada masyarakat berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Dimana informasi yang diberikan seharusnya mencakup pemberitaan actual dan sebenarnya tanpa adanya diskriminasi ras, etnis, agama, ataupun gender. Selain itu, Indonesia juga memiliki instrument hukum dalam hal penghapusan diskriminasi yaitu UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sehingga, seharusnya undang-undang ini juga mampu mengikat segala bentuk lapisan masyarakat termasuk pemberitaan dalam pers.

Selain peraturan perundang-undangan, Kode Etik Jurnalistik juga mengatur mengenai tindakan pemberitaan yang menyudutkan minoritas ini. yaitu pada Pasal 3 KEJ tentang berita berimbang. Berita berimbang ini maksudnya adalah bagaimana jurnalis memberitakan mengenai sebuah kasus atau berita tanpa melakukan penyudutan atau penghakiman secara pribadi. 

Juga pada pasal 8 tentang pemberitaan diskriminasi, lebih lengkapnya dituangkan secara jelas dalam pasal 8 KEJ yaitu “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani”. Dua pasal dalam KEJ ini seharusnya dinilai cukup untuk mencegah media melakukan pemberitaan yang bersifat merugikan minoritas yang tidak bersalah dalam suatu kasus.

Dari uraian tersebut, tidak dapat terbantahkan bahwa pers atau media telah bersekongkol untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Dibutuhkan pemikiran logis, kebijaksanaan, dan keinginan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Kualitas intelektual ini tidak banyak ditemukan pada media di Indonesia. Sebaliknya, dua kekuatan pendorong media massa adalah sifat persaingan dan keuntungan. 

Jadi, motivasi utama sebagian besar dari industri ini adalah menemukan cara untuk menceritakan sebuah cerita dengan cara yang menarik dan akurat, atau untuk mengambil jalan keluar yang lebih mudah dengan menyanggah nilai-nilai tradisional, mencari sensasi dari publik figur, atau mencari aspek kontroversial dalam setiap cerita, atau masalah sosial, sebagai sarana untuk menjangkau audiens. Hal-hal ini lah yang mengarah pada keuntungan yang lebih besar yang mungkin didapatkan.

Keuntungan dan pengaruh adalah dua tujuan fundamental dari industri pers. Tujuan ini pada dasarnya bukan hal yang salah. Tujuan ini salah hanya jika aturan hukum dan nilai-nilai pada masyarakat diabaikan. Dalam kondisi di mana tidak ada yang bertanggung jawab atas konsekuensi buruk tersebut, tidak mengherankan jika beberapa media massa atau pers telah memutuskan mengangkat sisi gelap pada setiap pemberitaan mengenai minoritas untuk menarik keuntungan lebih. Hal ini tidak membutuhkan banyak bakat, kejeniusan, atau kerja keras untuk mencapainya. 

Argumen bahwa media massa atau pers merupakan cerminan dari masyarakat tidak cukup sebagai argument untuk membenarkan setiap langkah, terlebih langkah buruk yang diambil oleh industri ini. Namun meskipun sah-sah saja untuk menyalahkan media atas semua penyakit sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan penegakan hukum ini, sejujurnya masyarakat tetap harus bercermin pada kesalahan diri sendiri. Masyarakat adalah konsumen dari industri pers ini. Sehingga kembali lagi, sebuah hal baik tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Dan di sisi lain, media dan pers juga harus membenahi diri dalam hal penyajian berita, termasuk kembali bercermin pada peraturan perundang-undangan dank kode etik yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun