Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut Silsilah

8 Desember 2019   06:53 Diperbarui: 8 Desember 2019   10:32 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ( sumber: pexels.com/fotografer: Frenchy Twenty Five)

Sarah adalah yang paling memenuhi kriteria seorang calon istri. Dia ideal. Tetapi sisi diriku yang lain, ketika penat aku dan teman-teman ngelayap. Dari tempat hiburan ini ke tempat hiburan yang itu. Diskotik, klub malam, dan karaoke dengan ladies-ladiesnya yang menawan. Dan di sanalah aku bertemu Janitra. Perempuan yang tak pernah dimakan usia. Selalu panas oleh gairah.

Rasa yang tak bermata, langkah yang tak kusadari buta. Secara harapan sosial barangkali iya, tak berarah dan nabrak-nubruk menimbulkan luka. Tetapi, aku bertanya, adakah orang yang sanggup menjabarkan kinerja cinta atau hasrat secara tepat?

Tidak.

Melainkan sudah berada daripadanya. Berada di genggaman, asmara. Bak api yang melahap. Menghanguskan.

                              ***
"Perempuan itu Janitra, yang mengandung dan melahirkanmu Sarah. Perempuan itu tak beda denganmu kini, sama-sama tengah mengandung benih dari lelaki yang kau anggap kekasihmu selama ini, Putra" papa tak bernafas mengucapkan ini.

"Papa tidak sengaja kembali bertemu dengannya setelah sekian puluh tahun dia menghilang. Dia menjadi ledies di sebuah karaoke ternama di kota dingin itu. Tempat Putra dan teman-temannya hanging-out, juga tempat papa rileks nyanyi-nyanyi sambil minum setiap kali habis menjengukmu di Malang" muka papa membatu.

"Perempuan itu ibu kandungmu, Sarah. Bayi yang dikandungnya itu adalah adikmu. Bapak dari bayinya dan bayimu itu tak beda. Dan papa tahu bahwa menjadi lelaki memang tidaklah mudah" kini jiwaku yang membatu, sudah.

Perempuan jalang itu 15 tahun ketika harus melahirkanku. Laki-laki yang membenihinya bahkan sudah 35 tahun, bapakku. Dia buah mengkal yang membusuk karena jiwanya telah menua ketika puting susunya baru berputik.

Bapakku yang kini 56 tahun, saat itu membawaku yang orok pergi kembali ke rumahnya, karena perempuan itu ingin melanjutkan masa remajanya yang remuk. Dia kembali berseragam sekolah meski susunya pernah membengkak. Dia tak mau mengenal dosa. Kini, sundal itu sudah 36 tahun tetapi lihatlah, dia seperti sebaya denganku yang 20 tahun.

Tetapi dia bukan ibu bagiku. Tak bisa aku menerima kenyataan ini. Ibuku adalah wanita yang penuh cinta. Yang meski tak pernah mengadoniku terlahir ke dunia, hanya padanyalah aku mengerti arti dikasihi, jauh dari luka.

Rahimnya buntu, sehingga membiarkan bapakku gentayangan mencari tempat menyemai benihnya. Untuk hal satu ini, aku lelah memaknakan perempuan yang melahirkanku dan ibu yang membesarkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun