Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut Silsilah

8 Desember 2019   06:53 Diperbarui: 8 Desember 2019   10:32 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ( sumber: pexels.com/fotografer: Frenchy Twenty Five)

Yang benar adalah, memang dunia hanya selebar daun kelor.

Sekalipun matahari benderang, kota ini menggigilkan. Seperti hanya ada satu musim, musim dingin panjang yang tak tercatat di negeriku, di mana musim-musimnya sering ingkar.

Hijau perbukitan, menyejukkan pandangan. Sebab kota ini adalah percah di lereng pegunungan. Terkenal dengan perkebunannya, juga pariwisatanya. Tetapi, jika aku mau jujur, aku lebih mengenal kota ini karena menjamur villanya. Kotamu. Kota kelahiranmu. Ialah puncaknya timur Jawa. Jika orang Jakarta sibuk ke Puncak di setiap week-end, maka orang Surabaya dan sekitaran timur Jawa sibuk kemari, ke puncak ini. Batu.

Di kalangan mahasiswa di kota pelajarnya Jawa Timur kotamu tak asing lagi. Tapi kamu sudah sarjana ketikaku baru menjadi mahasiswi di kampus yang mencetakmu.

 "Aku dari Jakarta. Orangtuaku di sana. Sementara aku terdampar di sini" ucapku ketika itu.

"Wah, senang mengenalmu, aku alumni kampusmu, baru kemarin. Sekarang aku bekerja. Setiap hari bolak-balik Batu-Malang-Batu. Jika ada waktu mainlah ke kotaku. Ia adalah puncak, sama seperti puncak Cipanas bagi orang Jakarta" kau memprovokasi.

"O ya? Hmmm menarik sekali. Baiklah. Aku pasti main ke kotamu jika perkuliahan longgar dan kerjamu tak sibuk, sehingga kau bisa menjadi guide-ku" ...

                                       ***
Semakin sulit mencari pekerjaan. Semua meminta ijazah minimal sarjana dan maksimal 25 tahun usia pelamarnya. Mereka tidak tahu bahwa aku, Janitra. Usiaku berhenti di 15 tahun, sehingga sekalipun usia fisikku 36 tahun tetapi aku tetaplah gadis remaja.

Lihat, karena jiwaku begitu muda, sehingga yang dunia lihat fisikku pun sulit menua. Semua setuju jika aku terlihat masih 25 tahun di hari ultahku yang ke 35 tahun kemarin. Tolong, mengertilah. Bahwa waktu adalah dusta terbesar di dunia.

"Serius kamu 35 tahun? Kenapa aku yang 25 tahun jatuh cinta padamu sedemikian rupa ya?" Rayuan basimu. 'Ah, brondong bagiku.

Karena tubuhku ikut macet bersama usia jiwaku, maka aku diterima bekerja sebagai ladies di sebuah tempat hiburan malam di kotamu. 'Jika ditanya tamu berapa usiamu? Jawablah 20 atau 25 tahun meski kau sudah 35 tahun, karena kau siluman perempuan! Bahwa waktu adalah dusta terbesar di dunia.

Tetapi, ketika alkohol menguasaiku, kerap jiwaku tak bisa berdusta. Di momen-momen itu biasanya aku bicara polos jujur yang tak jarang membawaku hancur. Entah lugu entah bebal, seringkali sulit membedakan semua itu.

Catatlah, kejujuran adalah lorong masuk mulut singa, atau terowongan yang akan mengantarkanmu ke mulut buaya. Maka semestinya aku dulu beternak hewan-hewan buas itu, agar apabila seseorang membawaku sakit begini, akan kulepas ternak-ternak buasku itu kepadanya.

Jiwaku yang macet itu juga banyak dihuni roh-roh kegelapan lainnya. Sehingga seringkali kurasakan diriku bukanlah diriku sendiri, tetapi diri yang beramai-ramai.

Dulu aku pernah elektra kompleks, ketika aku mencintai lelaki yang usianya lebih dua kali lipat dari usiaku ketika itu. Lelaki yang semestinya menjadi bapakku. Dan kini, teori Freud itu juga berlaku di sisi yang kebalikannya, oedhipus kompleks bagi lelakiku.

Ya, ketika kamu yang muda dan segar, jatuh cinta pada perempuan yang jauh lebih tua dari usiamu. Seperti kisah raja Oedhipus di Yunani sana, yang mencintai ibu kandungnya. Seperti juga legenda Tangkuban perahu di negeri kita. Bahwa ada kalanya jiwa lelakimu berwarna demikian, 'banyak sekali hal terjadi sepertimu, lelaki yang merindu ibu...

"Kalau aku berpacaran denganmu tidakkah aku seperti wanita terkutuk? Selisih usia kita nyaris 11 tahun. Kamu adalah tamuku yang paling muda juga paling sukses merebut hatiku jadi terpatah-patah" aku lupa sudah berapa kali kita bercinta di sebuah villa yang nampak angker tapi mempesona.

Usiamu 25 tahun, lelaki muda. Sementara aku menjelang 36 tahun, sudah. Pastilah jiwamu matang terlalu cepat dan terpenjara dalam fisikmu yang begitu ranum atas kelelakianmu yang membuncah pada gairah perempuan dewasa.

'Begitu terkutuknya cinta! Sungguh mengerikan asmara!

                                   ***
Kau tidak tahu betapa sulitnya menjadi lelaki. Menjadi pria dengan peran-peran sosialnya.

Cinta menjadi begitu rumit ketika berhadapan dengan harapan sosial. Bagaimanapun aku memilih Sarah demi masa depanku sesuai harapan sosial yang ada. Cantik, muda, mahasiswa, dari keluarga terhormat pula. Bapak dan Ibunya pengusaha di Jakarta. Dia anak satu-satunya. Sebagai lelaki normal yang bukan anak kecil lagi aku mengincarnya.

"Sudah 25 tahun usiamu Putra, sudah lumayan kerjamu, kapan kau ada ancang-ancang menikah?" Ibu beberapa kali bicaranya ke sana. "Ya ampun ibu, baru 25 tahun, buru-buru amat sih" elakku seringkali.

Sarah adalah yang paling memenuhi kriteria seorang calon istri. Dia ideal. Tetapi sisi diriku yang lain, ketika penat aku dan teman-teman ngelayap. Dari tempat hiburan ini ke tempat hiburan yang itu. Diskotik, klub malam, dan karaoke dengan ladies-ladiesnya yang menawan. Dan di sanalah aku bertemu Janitra. Perempuan yang tak pernah dimakan usia. Selalu panas oleh gairah.

Rasa yang tak bermata, langkah yang tak kusadari buta. Secara harapan sosial barangkali iya, tak berarah dan nabrak-nubruk menimbulkan luka. Tetapi, aku bertanya, adakah orang yang sanggup menjabarkan kinerja cinta atau hasrat secara tepat?

Tidak.

Melainkan sudah berada daripadanya. Berada di genggaman, asmara. Bak api yang melahap. Menghanguskan.

                              ***
"Perempuan itu Janitra, yang mengandung dan melahirkanmu Sarah. Perempuan itu tak beda denganmu kini, sama-sama tengah mengandung benih dari lelaki yang kau anggap kekasihmu selama ini, Putra" papa tak bernafas mengucapkan ini.

"Papa tidak sengaja kembali bertemu dengannya setelah sekian puluh tahun dia menghilang. Dia menjadi ledies di sebuah karaoke ternama di kota dingin itu. Tempat Putra dan teman-temannya hanging-out, juga tempat papa rileks nyanyi-nyanyi sambil minum setiap kali habis menjengukmu di Malang" muka papa membatu.

"Perempuan itu ibu kandungmu, Sarah. Bayi yang dikandungnya itu adalah adikmu. Bapak dari bayinya dan bayimu itu tak beda. Dan papa tahu bahwa menjadi lelaki memang tidaklah mudah" kini jiwaku yang membatu, sudah.

Perempuan jalang itu 15 tahun ketika harus melahirkanku. Laki-laki yang membenihinya bahkan sudah 35 tahun, bapakku. Dia buah mengkal yang membusuk karena jiwanya telah menua ketika puting susunya baru berputik.

Bapakku yang kini 56 tahun, saat itu membawaku yang orok pergi kembali ke rumahnya, karena perempuan itu ingin melanjutkan masa remajanya yang remuk. Dia kembali berseragam sekolah meski susunya pernah membengkak. Dia tak mau mengenal dosa. Kini, sundal itu sudah 36 tahun tetapi lihatlah, dia seperti sebaya denganku yang 20 tahun.

Tetapi dia bukan ibu bagiku. Tak bisa aku menerima kenyataan ini. Ibuku adalah wanita yang penuh cinta. Yang meski tak pernah mengadoniku terlahir ke dunia, hanya padanyalah aku mengerti arti dikasihi, jauh dari luka.

Rahimnya buntu, sehingga membiarkan bapakku gentayangan mencari tempat menyemai benihnya. Untuk hal satu ini, aku lelah memaknakan perempuan yang melahirkanku dan ibu yang membesarkanku.

Usia ibu kini 46 tahun, semakin nrimo karena hanya bapak dan akulah yang dimilikinya di dunia. Bisanya hanya berurai airmata. Mengapa bukan ibu mulia ini yang mengadakanku ke dunia? Sekali lagi aku belum dapat memahami semua ini. Ibu dan bapak bagiku hanya mama dan papa yang selama ini mencintai dan kucintai. Perempuan itu aib semata. Sungguh sulit bisa kuterima bahwa di rahimnya dulu hidupku bermula.

Dan dia, lelakiku itu 25 tahun. Bagaimana mungkin bayiku dan bayi perempuan itu berbagi Ayah? Aku berpacaran dengan lelakiku bahkan bertunangan yang tak lain adalah brondong perempuan terkutuk itu. Lelaki muda ibu kandungku. Betapa menjijikkan hidup ini. Aku dan bayi perempuan itu harus berbagi ibu karena kami pernah sama-sama berada di rahim perempuan jalang itu. Sementara bayiku dan bayinya yang adalah adikku itu harus berbagi bapak karena darah lelaki 25 tahun itu sama-sama mengaliri. Inilah hidup yang terkutuk, itu!

                                   ***
Batu, 25 Februari 2015, Nadya Nadine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun