Perkembangan Zaman Menjadikan Perubahan Pola Konsumtif Masyarakat.
Perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi telah membawa perubahan besar terhadap gaya hidup masyarakat, termasuk dalam hal pola konsumsi. Di era modern ini, budaya konsumtif semakin mengakar kuat, khususnya di kalangan generasi muda. Gaya hidup konsumtif kini bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan pokok, melainkan telah berubah menjadi upaya untuk memenuhi keinginan, menjaga citra diri, hingga menunjukkan eksistensi sosial di media sosial. Barang-barang bermerek, gadget terbaru, traveling, dan mengikuti tren fashion menjadi indikator status sosial baru. Ironisnya, semua ini dilakukan meskipun pendapatan tidak mencukupi.
Keterbatasan ekonomi yang seharusnya menjadi batasan logis, kini tidak lagi menjadi penghalang bagi sebagian masyarakat untuk tetap hidup dalam pola konsumsi yang tinggi. Banyak yang rela melakukan apa pun demi menjaga gaya hidup yang tidak sebanding dengan kemampuan ekonominya. Salah satu jalan yang paling banyak diambil adalah memanfaatkan layanan pinjaman online atau pinjol. Kemudahan akses, proses yang cepat, serta minimnya syarat administrasi membuat pinjol menjadi solusi instan bagi mereka yang ingin memenuhi keinginan konsumtifnya. Platform digital yang menawarkan pinjaman cepat ini tampak menarik dan menggiurkan, namun di baliknya terdapat konsekuensi serius yang jarang disadari oleh peminjam.
Penggunaan pinjol yang berlebihan dan tidak terkontrol sering kali menjerumuskan individu dalam jerat utang yang membebani secara psikologis dan sosial. Dengan bunga tinggi, denda keterlambatan, dan sistem penagihan yang intimidatif, masyarakat banyak yang akhirnya tidak mampu membayar kembali pinjamannya. Kondisi ini kemudian memunculkan fenomena gagal bayar atau yang dikenal dengan istilah "galbay." Mereka yang mengalami galbay tidak hanya tertekan secara ekonomi, tapi juga secara sosial karena mendapat stigma negatif sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, serta kehilangan kepercayaan dari keluarga dan lingkungan.
Lahirnya Tren Baru: Komunitas Galbay di Tengah Masyarakat yang Tak Mampu Membayar Utang Pinjaman Online.
Seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengalami kegagalan dalam membayar pinjol, muncul fenomena baru yaitu terbentuknya komunitas atau kelompok yang menamai diri mereka sebagai kelompok Galbay, singkatan dari gagal bayar. Mereka membentuk grup diskusi di media sosial atau aplikasi perpesanan yang berisikan individu-individu yang mengalami nasib serupa---terjerat pinjaman online dengan bunga tinggi dan tidak mampu membayar. Grup ini pada awalnya menjadi tempat saling curhat, bertukar cerita, hingga mencari solusi atas masalah finansial yang mereka hadapi. Namun, dalam beberapa kasus, grup-grup tersebut berkembang menjadi wadah ajakan untuk sama-sama tidak membayar utang, yang tentu saja menjadi masalah baru bagi industri fintech.
Menurut Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, tren ajakan galbay ini merugikan banyak perusahaan pinjol. Masyarakat yang bergabung dalam grup galbay terkadang terdorong untuk sengaja tidak membayar utangnya karena merasa sudah banyak yang melakukan hal serupa. Ajakan-ajakan ini banyak tersebar di media sosial, mendorong munculnya narasi pembangkangan terhadap kewajiban membayar utang. Meskipun beberapa peminjam memang benar-benar tidak mampu membayar karena kondisi ekonomi yang sulit, namun tidak sedikit juga yang sejak awal memang berniat tidak melunasi pinjamannya. Akibatnya, kepercayaan terhadap sistem pinjaman digital pun semakin menurun, dan perusahaan pinjol semakin ketat dalam penagihan.
Fenomena GALBAY dalam Perspektif Sosiologi.
Dalam pandangan sosiologi, fenomena galbay pinjol bukan sekadar kegagalan individu mengatur keuangan, melainkan mencerminkan adanya masalah sosial yang kompleks dan terstruktur. Pertama, dari perspektif struktural fungsionalisme, kehadiran pinjol seharusnya menjadi pelengkap sistem ekonomi yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terlayani oleh bank formal. Akan tetapi, ketika sistem ini tidak berjalan sesuai fungsinya, justru menimbulkan disfungsi sosial---yaitu kegagalan sistem dalam menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pinjol malah memperbesar kesenjangan dan menciptakan ketidakstabilan melalui utang konsumtif.
Galbay menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal (perusahaan pinjol) dan masyarakat kelas bawah (peminjam). Pinjol menjadi alat eksploitasi modern: masyarakat dipermudah meminjam, namun terjerat dalam bunga tinggi yang sulit dibayar. Ketimpangan ekonomi ini dieksploitasi secara digital, di mana peminjam yang rentan secara ekonomi dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan bagi pihak yang memiliki kendali atas sistem keuangan digital. Inilah bentuk kapitalisme digital yang memperkuat dominasi kelas atas terhadap kelas bawah.
Galbay menimbulkan label sosial dan stigma baru. Seseorang yang gagal bayar dianggap tidak bertanggung jawab, tidak memiliki kontrol diri, atau tidak pantas dipercaya. Hal ini berpengaruh pada identitas sosial individu yang mulai dipandang negatif oleh lingkungan sekitarnya. Bahkan, ketika data pribadi disebarkan oleh pihak pinjol kepada kontak keluarga atau rekan kerja, identitas sosial yang rusak itu bisa menyebabkan isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, bahkan tekanan mental berat.