Marah Boleh, Anarki Jangan: Belajar dari Penjarahan Rumah Anggota DPR
Beberapa hari terakhir, jagat berita Indonesia dihebohkan dengan kabar penjarahan rumah-rumah anggota DPR. Adegan yang semula terasa jauh, kini hadir di depan mata: pagar dirusak, pintu dijebol, barang-barang berharga raib begitu saja. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai "balasan setimpal" terhadap wakil rakyat yang dinilai gagal menjaga amanah. Bagi yang lain, ini tanda darurat: sebab kemarahan yang dibiarkan tanpa arah bisa berubah jadi anarki.
Lalu, pertanyaannya: siapa yang harus disalahkan? Rakyat yang marah? Pemerintah yang lambat merespons? Atau para elite yang selama ini lupa pada suara hati nurani konstituen mereka?
Sebelum menunjuk jari, kita perlu melihat konteksnya. Penjarahan tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari akumulasi rasa kecewa, ketidakadilan, dan jurang yang makin lebar antara rakyat dan penguasa.
Ketika harga-harga naik, lapangan kerja makin sempit, dan suara rakyat sering hanya jadi bahan retorika, rasa frustasi pun tak terbendung. Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut sebagai relative deprivation: perasaan tertindas karena membandingkan diri dengan kelompok lain yang lebih sejahtera.
Bila yang terlihat sehari-hari adalah rumah mewah anggota DPR, mobil berderet, dan gaya hidup yang kontras dengan penderitaan rakyat, api kecil bisa menyala menjadi kobaran besar.
Mengapa Seperti Ada Pembiaran?
Banyak yang bertanya-tanya: mengapa aparat terkesan lambat atau bahkan membiarkan penjarahan ini terjadi? Ada dua kemungkinan. Pertama, jumlah massa yang begitu besar membuat aparat kewalahan dan memilih menahan diri agar bentrokan tidak semakin parah. Kedua, ada faktor politis: membiarkan amarah publik meledak sejenak, sebelum "diatur ulang" dalam narasi resmi.
Namun, apapun alasannya, pembiaran terhadap aksi anarki selalu menimbulkan risiko besar. Jika dibiarkan, rakyat bisa merasa bahwa kekerasan adalah jalan sah untuk menyampaikan aspirasi. Padahal itu jalan buntu.
Power Corrupts Absolutely?
Ada pepatah terkenal dari Lord Acton: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan memang rawan melahirkan kesewenang-wenangan. Tapi dalam kasus Indonesia, bukan hanya soal kekuasaan absolut, melainkan jarak emosional antara pemimpin dan rakyatnya.