Mohon tunggu...
Nadir Renjana
Nadir Renjana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akun nulis puisi

Dan keresahan yang beranak pinak pun menjadi rentetan syair murahan yang berusaha aku komersialkan kepada khalayak ramai. Salam cintaku, kepada setiap yang membaca dengan rasa dan keresahan yang sama. -Nadir Renjana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah: Tentang Pulang dan Penerimaan

21 Maret 2022   03:08 Diperbarui: 21 Maret 2022   03:16 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah obrolan panjang di tepi Danau malam itu di awali dengan tiga buah bakpau ayam dan sekantung telur gulung, jajanan yang menjadi teman memori di masa kecil, dan masih setia hingga saat ini. Cerita tentang sakit-penyakit, penolakan, ketertarikan, kehilangan, serta kerinduan akan rumah dan seisinya.

Dari rumah, tempat pulang, kita mengalami banyak kehilangan yang sebenarnya kita tidak siap untuk itu. Amarah, keretakan, pengkhianatan, perpisahan, sakit-penyakit, bahkan kematian.

"makanan adalah hal yang sakral bagi aku. ketika kita kedatangan tamu, kita wajib menjamu orang tersebut." pernyataan Bang Ega yang kami bertiga aminkan dengan anggukan kepala.

Bercerita tentang betapa makan bersama di meja makan adalah sebuah ritual yang amat dirindukan setiap orang yang kehilangan kesempatan itu. Tentang betapa hangat dan intimnya sebuah percakapan sembari menghabisakan nasi dan lauk-pauk karya tangan Ibu, nasihat serta lelucon tidak lucu khas bapak-bapak. Beberapa kehilangan itu.

Rumah, tempat pulang, adalah pengertian paling sempit yang dapat diartikan oleh siapapun, oleh anak kecil sekalipun. Lalu banyak yang mengatakan bahwa, Rumah adalah dimana tempat Ibu berada. Sebuah kebenaran yang tidak mutlak tapi memang benar adanya.

Lalu, setelah bertambahnya usia, rumah bukan lagi tentang Ibu dan makanan rumahan. Rumah kini tak lagi harfiah sebagai 'tempat'. Kini rumah bergeser pengertian, bukan hanya tempat pulang, melainkan tentang penerimaan.

Orang-orang menjadi begitu puitis ketika membahas 'rumah' baik penyair maupun musisi-musisi generasi baru saat ini. Banyak orang menjadikan dirinya dan orang lain sebagai rumah. Ketika dihadapkan dengan keputusan besar tentang menerima dan penerimaan. Penerimaan akan luka di masalalu, penerimaan akan cacat cela, penerimaan akan diri yang hancur remuk redam oleh masa dan massa.

"Aku menerima masa lalumu, walaupun itu sebuah luka dan menyakitkan, aku menerima itu." Kalimat menyenangkan bagi siapapun sebagai bentuk penerimaan tadi. Dan itu adalah sebuah keputusan yang tidak main-main.

Kita semua merasakan penolakan. Dan penerimaan adalah sebuah hadiah yang diidamkan oleh siapapun. Dan saat itulah kita merasa pulang, kembali pada seluruh rasa hangat yang sudah lama dingin, bahkan beku.

Maha Adil, Tuhan, dengan segala cinta-Nya, tempat pulang terbaik menurut orang-orang religius, sekali ini adalah sebuah kebenaran mutlak.

Kemudian, rumah tidak hanya tentang seorang, tapi tentang lingkungan yang kita bangun sedemikian rupa agar kita nyaman duduk diam di dalamnya. Kita menciptakan suasana 'rumah' diluar dari rumah agar kita bisa pulang ketika beberapa rencana tentang hidup tidak berjalan sesuai dengan sketsa yang kita buat. Tapi, seperti rumah-rumah lain pada umumnya, tidak selalu bertahan lama dan hangat. Ada masanya yang erat melekat pun akan kendur dan akan lepas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun