Mohon tunggu...
Nadila Alfitri Wardhani
Nadila Alfitri Wardhani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Jurnal Perempuan Difabel Berhadapan dengan Hukum

6 Desember 2022   07:45 Diperbarui: 6 Desember 2022   08:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya Nadila Alfitri Wardhani akan mereview Jurnal Perempuan Difabel Berhadapan Hukum, Penulis: Muhammad Julijanto, Jurnal: Muwazah, Vol.10, No.2, Tahun 2018. Dalam jurnal ini menjelaskan bagaimana penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum dan kendala yang dialaminya.

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya. Difabel merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan khusus.

Di Indonesia kaum difabel sangat banyak yang belum bisa menikmati layanan yang baik, namun fasilitas dan hak yang harus mereka terima belum ada atau bisa dibilang hanya lima persen dengan yang diterima pada warga negara pada umumnya, seharusnya pemerintah memikirkan kesejahteraan warganya tak terkecuali. 

Mengapa difabel terpojok oleh hukum dan terlanggar hak asasi manusianya? Karena masih kuatnya hambatan-lingkungan yang diskriminatif, sarana-prasarana publik yang umumnya belum aksesibel dan tidak universal design. Hambatan difabel karena adanya gangguan penglihatan, pendengaran, mobilitas, komunikasi, kognisi (mengingat, intelektual) dan perasan (emosi, mental) belum mampu dipahami dengan baik. Difabel dalam lingkungan sosial secara umum mengalami kendala aktivitas dan tidak bisa berpartisipasi dengan sepenuhnya.

Dari data yang diperoleh kasus kekerasan terhadap perempuan difabel di Jawa Tengah yang menjadi dampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah Jawa Tengah (MHH PWA Jateng) sebanyak 7 kasus dengan spesifikasi berbeda. Dari 7 kasus tersebut, yang berhasil menjerat pelaku baru satu kasus. Misalnya: kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo, korban tuna rungu wicara, dan kasus di Surakarta, Klaten, Sleman ketiganya dilepas karena kurangnya alat bukti.

Dari artikel yang penulis review banyak contoh kasus yang korbannya adalah penyandang disabilitas dan tidak mendapatkan keadilan karena beberapa hal misal kurangnya alat bukti dll. Dengan hal itu kita sebagai warga sipil lebih memerhatikan penyandang disabilitas dan juga tidak boleh mendiskriminasi karena kita sama dimata hukum negara yang berhak mendapatkan keadilan juga. Dari contoh-contoh kasus penyandang disabilitas mengalami kendala dimata hukum karena aparat hukum yang belum paham betul bagaiaman penanganan terhadapa kaum penyandang disabilitas. 

Kasus yang ditangani dan berhasil mendapatkan keadilan lebih sedikit dibandingkan dengan kasus yang tidak berhasil atau tidak di usut lagi. Sehingga korban tidak hanya mendapatkan kerugian verbal tetapi juga non verbal. Korban juga bisa mendapatkan trauma hasil dari kekerasan tersebut apalagi kebanyakan kasus korbannya adalah perempuan. Dan tidak juga korba yang melapor bukannya malah disalahkan dan mendapatkan cacian, maka dari itu masyarakat juga sebaiknya diberi wawasan lebih mengenai hal ini. Agar saat berhadapan dengan hal seperti ini mau menjadi saksi dan melindungi korban penyandang disabilitas ini yang telaj mejadi korban.

Dalam menangani difabel berhadapan dengan hukum, aparat penegak hukum selalu merujuk pada aturan dan tafsiran yang diskriminatif. Dalam kasus tindak pidana misalnya, difabel netra selalu dipermasalahkan oleh aparat penegak hukum, bahkan kesaksiannya tidak dapat di terima karena difabel netra dinyatakan tidak bisa melihat. 

Aparat penegak hukum selalu merujuk pada aturan Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan bahwa yang dikatakan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Akibat tafsir ketentuan ini, difabel yang menjadi korban tindak pidana tidak diproses kasus hukumnya. Bahkan, biasa dipersalahkan karena dinilai tidak bisa membuktikan kesaksian penglihatannya.

Menurut penulis upaya yang dilakukan untuk mengurangi hal tersebut adalah aparat penegak hukum sebaiknya diberi wawasan lebih terhadapa penyandang disabilitas dan bagaimana cara berhadapan dengan baik dan benar terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban. Agar mereka pun mendapatkan keadilan karena penyandang disabilitas berhak mendapatkan hak yang sesuai mereka dapatkan. 

Di tengah harapan yang besar, sampai saat ini, sistem hukum di Indonesia, baik itu substansi hukum, aparat penegak hukum, sarana prasarana penegakan hukum sampai dengan budaya hukum masyarakat masih perlu desakan perubahan radikal dan transformasi terus menerus. Jika desakan perubahan sistem hukum itu berhenti, keadilan bagi difabel berhadapan dengan hukum tidak akan pernah tercapai. Jadi kita sebagai warga negara yang baik harus saling menghormati antar sesama warga negara Indonesia tanpa membedakan baik dari suku, ras maupun yang sekiranya berbeda dari kita agar negara Indonesia ini bisa menjadi negara yang aman untuk kita tinggali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun